Thursday, September 27, 2012

Kuatkan Imanmu, Peliharalah Rasa Malu



“SESUNGGUHNYA setiap agama mempunyai akhlak dan sesungguhnya akhlak Islam adalah malu,” demikian hadits Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah.

Malu bukanlah sifat yang mudah untuk dimiiki. Malu hanya akan tumbuh dan menjadi perangai seorang Muslim manakala imannya kepada Allah dan hari akhir benar-benar sangat kokoh.

Hari ini nampaknya sebagian besar umat Islam agak abai dengan sifat malu ini. Contoh paling nyata adalah beberapa sikap kaum Muslimah yang belum menutup aurat ketika memajang foto-foto yang semestinya tidak di upload ke dunia maya malah justru sangat disenangi dan digandrungi.

Bahkan ada yang suka memasang foto dirinya saat berenang dengan pakaian yang tidak sepantasnya. Demikian pula dengan yang laki-laki yang juga memajang foto-foto anggota badan yang termasuk aurat ke dalam status Facebook-nya.

Mengenai aurat ini, perhatian Rasulullah sangat tegas. Beliau bersabda; “Sesungguhnya Allah Maha lembut, Maha malu dan Maha menutupi, Dia menyukai sifat malu dan menutupi, maka jika salah seorang dari kalian mandi, hendaknya dia menutup diri.”

Dalam kehidupan sehari-hari, kita bisa lihat dari sikap sebagian kaum Muslimin yang tidak bersegera menunaikan kewajiban-kewajibannya. Sudah tahu waktu sholat tidak lama lagi, lantunan adzan pun mulai terdengar, tetapi masih lebih memilih asyik nonton di depan TV, bahkan sebagian lainnya masih asyik ber-Facebook ria. Hal ini juga menandakan bahwa sifat malu belum menjadi bagian tak terpisahkan dari sebagian umat Islam.

Dalam ajaran Islam, seorang Muslim yang melakukan dua contoh sikap di atas, dan termasuk Muslim yang mengabaikan imannya hanya karena urusan keduniaan, termasuk kelompok Muslim yang belum memiliki rasa malu. Mengapa demikian?

Suatu ketika Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Malulah kalian kepada Allah dengan sebenar-benarnya malu.” Mereka menjawab, “Alhamdulillah, kami malu.”
Nabi pun melanjutkan sabdanya; “Bukan itu, akan tetapi malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya adalah hendaknya kamu menjaga kepala dan apa yang dipahaminya, menjaga perut dengan isisnya, hendaknya kamu mengingat kematian dan hancurnya jasad sesudahnya, barangsiapa menginginkan akhirat, niscaya dia meninggalkan perhiasan dunia, barangsiapa melakukan hal itu, maka dia tetlah malu kepada Allah dengan sebenar-benarnya.” (HR. Tirmidzi).

Itulah mengapa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam tidak pernah melewati malam melainkan dengan bangun untuk tahajjud. Beliau malu kepada Allah jika nikmat yang begitu besar dan amanah yang tidak ringan tidak ditunaikan secara sungguh-sungguh dengan penuh kesyukuran. Beliau malu jika sepanjang malam digunakan hanya untuk tidur. Demikianlah sifat manusia agung yang sangat pemalu, terutama kepada Allah Subhanahu Wata’ala.

Ketika malam Mi’raj dalam perjalanan beliau kembali ke langit dunia untuk membawa perintah mendirikan sholat, beliau bolak-balik menghadap Allah karena mendapat saran Nabi Musa agar perintah sholat yang Allah wajibkan atas umatnya dikurangi jumlah raka’atnya.

Akhirnya setelah mendapatkan keringanan menjalankan shalat lima waktu sehari semalam, Nabi Musa masih menyarankan Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam minta keringanan kepada Allah. “Istahyaytu min rabbi” demikian jawab manusia agung itu. “Aku malu kepada Rabbku”. Subhanallah, Rasulullah saja malu meminta keringanan lagi, lalu mengapa sebagian umat Islam tidak bersemangat mendirikan shalat.

Bahkan Rasulullah malu hanya berdoa untuk dirinya sendiri. Beliau malu kepada Allah sekaligus malu kepada seluruh umatnya jika berdoa hanya untuk diri beliau sendiri, apalagi setiap doa beliau pasti dikabulkan oleh Allah Subhanahu Wata’ala.

Hal ini beliau jelaskan dalam sebuah sabdanya; “Setiap Nabi mempunyai doa yang mustajab, lalu masing-masing dari mereka bersegera menggunakan doanya (di dunia), namun aku menyimpan doaku sebagai syafa’at bagi umatku di hari kiamat, ia akan didapatkan Insya Allah oleh siapa pun dari umatku yang mati daam keadaan tidak mempersekutukan Allah dengan apa pun.” (HR. Bukhari).

Jika Rasulullah malu kepada kita sebagai umatnya, dan mengkhususkan doa mustajabnya untuk kita, lalu mengapa kita tidak malu mengabaikan amanah dan sunnah-sunnah beliau, sementara kita selalu berharap mendapat syafaatnya kelak di hari kiamat?

Malu dalam Pergaulan

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam juga sangat memperhatikan rasa malu dalam pergaulan. Aisyah mengatakan bahwa beliau senantiasa menjaga diri dari yang tidak baik (iffah) dan menjaga kesendirian. “Nabi seorang yang tidak suka berkata kotor, tidak gemar menjelek-jelekkan, dan tidak berteriak-teriak di pasar,” demikian tutur istri beliau yang banyak meriwayatkan hadits-haditsnya.

Urusan malu adalah urusan iman dan termasuk perkara yang besar. “Malu itu termasuk dari iman, dan iman itu di dalam surga, keburukan ucapan termasuk sikap tidak peduli (kurang ajar) dan sikap tidak peduli itu adalah di neraka,” demikian tegas Rasulullah sebagaimana diriwayatkan oeh Tirmidzi.

Rasulullah menjelaskan bahwa malu adalah lawan dari keburukan ucapan, ia tidak akan pernah sejalan dengannya. Manakala kita menjumpai manusia yang lisannya selalu menjelek-jelekkan orang lain, dan membangga-banggakan dirinya, cukuplah bukti bahwa orang itu tidak punya rasa malu yang berarti cacat keimanannya. Dan, tidak ada yang dikehendakinya melainkan kehidupan dunia belaka.

Di sinilah fungsi utama akhlak. Oleh karena itu akhlak dalam Islam itu meliputi banyak sisi, mulai dari akhlak kepada Allah, manusia dan alam semesta.

Maka dari itu, milikilah akhlak yang mulia karena hanya dengan akhlak mulia itu seorang Muslim akan memiliki rasa malu yang sebenar-benarnya. Bukan rasa malu yang umum disalahpahami oleh kebanyakan manusia, dimana malu hanya ditujukan kepada manusia. Padahal malu yang benar adalah malu kepada Allah bukan kepada manusia.
Rasulullah Shallallahu ‘alaihi Wassalam bersabda; “Seseorang lebih patut untuk malu kepada Allah daripada kepada manusia.” (HR. Abu Dawud).*

Perilaku sebagian orang yang gemar mengambil hak orang lain (korupsi), tidak jujur, dan takut diketahui orang segala rencana dan perbuatannya yang merusak, semuanya termasuk sifat tercela dan menunjukkan ketiadaan rasa malu yang benar kepada Allah SWT.

Orang yang seperti itu biasanya akan shock jika keburukannya diketahui oleh orang lain, sebab baginya tidak ada yang lebih ditakutkan kecuali ada manusia mengetahuinya. Terhadap Allah, orang seperti itu tidak benar-benar malu. Oleh karena itu tidak mengherankan jika mereka berani melawan perintah Allah, asalkan manusia tidak mengetahui dan menentangnya. Naudzubillah.

Terhadap orang seperti itu, Rasulullah bersabda; “Sesungguhnya di antara ajaran yang manusia dapatkan dari perkataan kenabian yang pertama adalah Apabila engkau tidak malu, maka lakukanlah apa saja yang kau mau.” (HR. Bukhari).

Di dalam Al-Qur’an, Allah berfirman; “Perbuatlah apa yang kamu kehendaki; sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan.” (QS. 41: 40).

Tentu penegasan Rasulullah yang terakhir itu bukanlah perintah untuk berbuat sesuka hati, melainkan untuk menghindar dari perbuatan memperturutkan hawa nafsu. Karena menuruti hawa nafsu akan menghilangkan kemampuan akal sehat dan menjadikan seorang manusia hidup tanpa iman dan karena itu tidak punya sifat malu. Padahal dalam Islam, malu adalah bagian dari keimanan.*

Saturday, September 22, 2012

WANITA PEMERAH SUSU DAN ANAK GADISNYA

Pada zaman pemerintahan Umar bin Khaththab hiduplah seorang janda miskin bersama seorang anak gadisnya di sebuah gubuk tua di pinggiran kota Mekah. Keduanya sangat rajin beribadah dan bekerja untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Setiap pagi, selesai salat subuh, keduanya memerah susu kambing di kandang. Penduduk kota Mekah banyak yang menyukai susu kambing wanita itu karena mutunya yang baik.

Pada suatu malam, Khalifah Umar ditemani pengawalnya berkeliling negeri untuk melihat dari dekat keadaan hidup dan kesejahteraan rakyatnya. Setelah beberapa saat berkeliling, sampailah khalifah di pinggiran kota Mekah. Beliau tertarik melihat sebuah gubuk kecil dengan cahaya yang masih tampak dari dalamnya yang menandakan bahwa penghuninya belum tidur. Khalifah turun dari kudanya, lalu mendekati gubuk itu. Samar-samar telinganya mendengar percakapan seorang wanita dengan anaknya.
"Anakku, malam ini kambing kita hanya mengeluarkan susu sedikit sekali. Ini tidak cukup untuk memenuhi permintaan pelanggan kita besok pagi," keluh wanita itu kepada anaknya.
Dengan tersenyum, anak gadisnya yang beranjak dewasa itu menghibur, "Ibu, tidak usah disesali. Inilah rezeki yang diberikan Allah kepada kita hari ini. Semoga besok kambing kita mengeluarkan susu yang lebih banyak lagi."
"Tapi, aku khawatir para pelanggan kita tidak mau membeli susu kepada kita lagi. Bagaimana kalau susu itu kita campur air supaya kelihatan banyak?"
"Jangan, Bu!" gadis itu melarang. "Bagaimanapun kita tidak boleh berbuat curang. Lebih baik kita katakan dengan jujur pada pelanggan bahwa hasil susu hari ini hanya sedikit. Mereka tentu akan memakluminya. Lagi pula kalau ketahuan, kita akan dihukum oleh Khalifah Umar. Percayalah, ketidakjujuran itu akan menyiksa hati."
Dari luar gubuk itu, Khalifah Umar semakin penasaran ingin terus mendengar kelanjutan percakapan antara janda dan anak gadisnya itu.
"Bagaimana mungkin khalifah Umar tahu!" kata janda itu kepada anaknya. "Saat ini beliau sedang tertidur pulas di istananya yang megah tanpa pernah mengalami kesulitan seperti kita ini?"
Melihat ibunya masih tetap bersikeras dengan alasannya, gadis remaja itu tersenyum dengan lembut dan berkata, "Ibu, memang Khalifah tidak melihat apa yang kita lakukan sekarang. Tapi Allah Maha Melihat setiap gerak-gerik makhluknya. Meskipun kita miskin, jangan sampai kita melakukan sesuatu yang dimurkai Allah."
Dari luar gubuk, khalifah tersenyum mendengar ucapan gadis itu. Beliau benar-benar kagum dengan kejujurannya. Ternyata kemiskinan dan himpitan keadaan tidak membuatnya terpengaruh untuk berbuat curang. Setelah itu khalifah mengajak pengawalnya pulang.
Keesokan harinya, Umar memerintahkan beberapa orang untuk menjemput wanita pemerah susu dan anak gadisnya untuk menghadap kepadanya. Beliau ternyata bermaksud menikahkan putranya dengan gadis jujur itu.
Sungguh sebuah teladan bagi kita semua, bahwa kejujuran karena takut kepada Allah adalah suatu harta yang tak ternilai harganya. Mungkin ini yang sulit kita dapatkan sekarang.

Uwais Al-Qarni, Menjadi Sebutan Penduduk Langit

Pada zaman Nabi Muhammad S.A.W, ada seorang pemuda bermata biru, rambutnya merah, pundaknya lapang panjang, berpenampilan cukup tampan.

Kulitnya kemerah-merahan. Dagunya menempel di dada kerana selalu melihat pada tempat sujudnya. Tangan kanannya menumpang pada tangan kirinya.

Ahli membaca al-Quran dan selalu menangis, pakaiannya hanya dua helai dan sudah kusut yang satu untuk penutup badan dan yang satunya digunakannya sebagai selendang. Tiada orang yang menghiraukan, tidak terkenal dalam kalangan manusia,namun sangat terkenal di antara penduduk langit.

Tatkala datangnya hari Kiamat, dan tatkala semua ahli ibadah diseru untuk memasuki Syurga, dia justeru dipanggil agar berhenti dahulu seketika dan disuruh memberi syafa'atnya.



Ternyata Allah memberi izin padanya untuk memberi syafa'at bagi sejumlah bilangan qabilah Robi'ah dan qabilah Mudhor, semua dimasukkan ke Syurga dan tiada seorang pun ketinggalan dengan izin-Nya.

Dia adalah 'Uwais al-Qarni' siapalah dia pada mata manusia...

Tidak banyak yang mengenalnya, apatah lagi mengambil tahu akan hidupnya. Banyak suara-suara yang mentertawakan dirinya, mengolok-olok dan mempermainkan hatinya.

Tidak kurang juga yang menuduhnya sebagai seorang yang membujuk, seorang pencuri serta berbagai macam umpatan demi umpatan, celaan demi celaan daripada manusia.

Suatu ketika, seorang fuqoha' negeri Kuffah, datang dan ingin duduk bersamanya. Orang itu memberinya dua helai pakaian sebagai hadiah. Namun, hadiah pakaian tadi tidak diterima lalu dikembalikan semula kepadanya. Uwais berkata:

"Aku khuatir, nanti orang akan menuduh aku, dari mana aku mendapatkan pakaian itu? Kalau tidak daripada membujuk pasti daripada mencuri."

Uwais telah lama menjadi yatim. Beliau tidak mempunyai sanak saudara, kecuali hanya ibunya yang telah tua renta dan lumpuh tubuh badannya. Hanya penglihatan kabur yang masih tersisa.

Bagi menampung kehidupannya sehari-hari, Uwais bekerja sebagai pengembala kambing. Upah yang diterimanya hanya cukup-cukup untuk menampung keperluan hariannya bersama ibunya. Apabila ada wang berlebihan, Uwais menggunakannya bagi membantu tetangganya yang hidup miskin dan serba kekurangan.

Kesibukannya sebagai pengembala dan merawat ibunya yang lumpuh dan buta, tidak mempengaruhi kegigihan ibadahnya. Dia tetap melakukan puasa di siang hari dan bermunajat di malam harinya.

Uwais al-Qarni telah memeluk Islam ketika seruan Nabi Muhammad S.A.W tiba ke negeri Yaman. Seruan Rasulullah telah mengetuk pintu hati mereka untuk menyembah Allah, Tuhan Yang Maha Esa, yang tidak ada sekutu bagi-Nya.

Islam mendidik setiap pemeluknya agar berakhlak luhur. Peraturan-peraturan yang terdapat di dalamnya menarik hati Uwais. Apabila seruan Islam datang di negeri Yaman, ia segera memeluknya, kerana selama ini hati Uwais selalu merindukan datangnya kebenaran.

Banyak tetangganya yang telah memeluk Islam, pergi ke Madinah untuk mendengarkan ajaran Nabi Muhammad S.A.W secara langsung. Sekembalinya di Yaman, mereka memperbaharui rumah tangga mereka dengan cara kehidupan Islam.

Alangkah sedihnya hati Uwais apabila melihat setiap tetangganya yang baru datang dari Madinah. Mereka itu telah bertamu dan bertemu dengan kekasih Allah penghulu para Nabi, sedang dia sendiri belum berkesempatan.

Kecintaannya kepada Rasulullah menumbuhkan kerinduan yang kuat untuk bertemu dengan sang kekasih. Namun apakan daya, dia tidak punya bekal yang cukup untuk ke Madinah. Lebih dia beratkan adalah ibunya yang sedang sakit dan perlu dirawat. Siapa yang akan merawat ibunya sepanjang ketiadaannya nanti?

Diceritakan ketika terjadi perang Uhud Rasulullah S.A.W mendapat cedera dan giginya patah kerana dilempari batu oleh musuh-musuhnya. Khabar ini sampai ke pengetahuan Uwais.

Dia segera memukul giginya dengan batu hingga patah. Hal tersebut dilakukan sebagai bukti kecintaannya kepada Rasulullah, sekalipun ia belum pernah melihatnya.

Hari berganti dan musim berlalu, dan kerinduan yang tidak terbendung dan hasrat untuk bertemu tidak dapat dipendam lagi. Uwais merenungkan diri dan bertanya dalam hati, "Bilakah ia dapat menziarahi Nabinya dan memandang wajah beliau dengan dekat?"

Bukankah dia mempunyai ibu yang sangat memerlukan perhatian daripadanya dan tidak sanggup meninggalkan ibunya sendiri. Hatinya selalu gelisah siang dan malam menahan kerinduan untuk berjumpa Rasulullah.

Akhirnya, pada suatu hari Uwais mendekati ibunya. Dia meluahkan isi hatinya dan memohon izin kepada ibunya agar diperkenankan untuk pergi menziarahi Nabi S.A.W di Madinah.

Sang ibu, walaupun telah uzur, merasa terharu ketika mendengar permohonan anaknya. Beliau amat faham hati nurani anaknya, Uwais dan berkata,

"Pergilah wahai anakku! Temuilah Nabi di rumahnya. Apabila telah berjumpa, segeralah engkau kembali pulang."

Dengan rasa gembira dia berkemas untuk berangkat. Dia tidak lupa untuk menyiapkan keperluan ibunya yang akan ditinggalkan serta berpesan kepada tetangganya agar dapat menemani ibunya selama mana dia pergi.

Sesudah siap segala persediaan, Uwais mencium sang ibu. Maka berangkatlah Uwais menuju Madinah yang berjarak lebih kurang empat ratus kilometer dari Yaman.

Medan yang begitu panas dilaluinya. Dia tidak peduli penyamun gurun pasir, bukit yang curam, gurun pasir yang luas yang dapat menyesatkan dan begitu panas di siang hari, serta begitu dingin di malam hari. Semuanya dilalui demi bertemu dan dapat memandang sepuas-puasnya paras baginda Nabi S.A.W yang selama ini dirinduinya.

Tibalah Uwais al-Qarni di kota Madinah. Segera ia menuju ke rumah Nabi S.A.W, diketuknya pintu rumah itu sambil mengucapkan salam. Keluarlah sayyidatina 'Aisyah R.A sambil menjawab salam Uwais.

Segera sahaja Uwais menanyakan Nabi yang ingin dijumpainya. Namun ternyata baginda tidak berada di rumah melainkan berada di medan perang. Betapa kecewa hati sang perindu, dari jauh ingin berjumpa tetapi yang dirindukannya tidak berada di rumah. Dalam hatinya bergolak perasaan ingin menunggu kedatangan Nabi S.A.W dari medan perang.

Bilakah beliau pulang? Sedangkan masih terngiang di telinga pesan ibunya yang sudah tua dan sakit-sakitan itu, agar ia cepat pulang ke Yaman.

"Engkau harus lekas pulang."

Atas ketaatan kepada ibunya, pesan ibunya tersebut telah mengalahkan suara hati dan kemahuannya untuk menunggu dan berjumpa dengan Nabi S.A.W.

Dia akhirnya dengan terpaksa memohon untuk pulang semula kepada sayyidatina 'Aisyah R.A ke negerinya. Dia hanya menitipkan salamnya untuk Nabi S.A.W dan melangkah pulang dengan hati yang pilu.

Sepulangnya dari medan perang, Nabi S.A.W langsung menanyakan tentang kedatangan orang yang mencarinya. Nabi Muhammad S.A.W menjelaskan bahawa Uwais al-Qarni adalah anak yang taat kepada ibunya. Ia adalah penghuni langit dan sangat terkenal di langit.

Mendengar perkataan baginda Rasulullah S.A.W, sayyidatina 'Aisyah R.A dan para sahabatnya terpegun.

Menurut sayyidatina 'Aisyah R.A memang benar ada yang mencari Nabi S.A.W dan segera pulang kembali ke Yaman, kerana ibunya sudah tua dan sakit-sakitan sehingga ia tidak dapat meninggalkan ibunya terlalu lama.

Rasulullah S.A.W bersabda: "Kalau kalian ingin berjumpa dengan dia (Uwais al-Qarni), perhatikanlah, ia mempunyai tanda putih di tengah-tengah telapak tangannya."

Sesudah itu Rasulullah S.A.W, memandang kepada sayyidina Ali K.W dan sayyidina Umar R.A dan bersabda:

"Suatu ketika, apabila kalian bertemu dengan dia, mintalah doa dan istighfarnya, dia adalah penghuni langit dan bukan penghuni bumi."

Tahun terus berjalan, dan tidak lama kemudian Nabi S.A.W wafat, hinggalah sampai waktu khalifah Sayyidina Abu Bakar as-Shiddiq R.A telah digantikan dengan Khalifah Umar R.A.

Suatu ketika, khalifah Umar teringat akan sabda Nabi S.A.W tentang Uwais al-Qarni, sang penghuni langit. Beliau segera mengingatkan kepada sayyidina Ali K.W untuk mencarinya bersama.

Sejak itu, setiap ada kafilah yang datang dari Yaman, mereka berdua selalu bertanya tentang Uwais al-Qarni, apakah ia turut bersama mereka. Di antara kafilah-kafilah itu ada yang merasa hairan, apakah sebenarnya yang terjadi sampai ia dicari oleh beliau berdua.

Rombongan kafilah dari Yaman menuju Syam silih berganti, membawa barang dagangan mereka. Suatu ketika, Uwais al-Qarni turut bersama rombongan kafilah menuju kota Madinah.

Melihat ada rombongan kafilah yang datang dari Yaman, segera khalifah Umar R.A dan sayyidina Ali K.W mendatangi mereka dan menanyakan apakah Uwais turut bersama mereka.

Rombongan itu mengatakan bahawa ia ada bersama mereka dan sedang menjaga unta-unta mereka di perbatasan kota. Mendengar jawapan itu, beliau berdua bergegas pergi menemui Uwais al-Qarni.

Sesampainya di khemah tempat Uwais berada, Khalifah Umar R.A dan sayyidina Ali K.W memberi salam. Namun rupanya Uwais sedang melaksanakan solat. Setelah mengakhiri solatnya, Uwais menjawab salam kedua tamu agung tersebut sambil bersalaman.

Sewaktu berjabat tangan, Khalifah Umar segera membalikkan tangan Uwais, untuk
membuktikan kebenaran tanda putih yang berada di telapak tangan Uwais,
sebagaimana pernah disabdakan oleh baginda Nabi S.A.W.

Memang benar! Dia penghuni langit. Dan ditanya Uwais oleh kedua tamu tersebut,

"Siapakah nama saudara?"

"Abdullah." Jawab Uwais.

Mendengar jawapan itu, kedua sahabat pun tertawa dan mengatakan,

"Kami juga Abdullah, yakni hamba Allah. Tapi siapakah namamu yang sebenarnya?"

Uwais kemudian berkata "Nama saya Uwais al-Qarni."

Dalam pembicaraan mereka, diketahuilah bahwa ibu Uwais telah meninggal dunia.
Itulah sebabnya, dia baru dapat turut bersama rombongan kafilah dagang saat itu. Akhirnya, Khalifah Umar dan sayyidina Ali K.W. memohon agar Uwais berkenan mendoakan untuk mereka.

Uwais enggan dan dia berkata kepada khalifah,

"Sayalah yang harus meminta doa daripada kalian."

Mendengar perkataan Uwais, Khalifah berkata,

"Kami datang ke sini untuk mohon doa dan istighfar daripada anda."

Karena desakan kedua sahabat ini, Uwais al-Qarni akhirnya mengangkat kedua tangannya, berdoa dan membacakan istighfar.

Setelah itu Khalifah Umar R.A berjanji untuk menyumbangkan wang negara daripada Baitulmal kepada Uwais, untuk jaminan hidupnya. Segera sahaja Uwais menolak dengan halus dengan berkata,

"Hamba mohon supaya hari ini saja hamba diketahui orang. Untuk hari-hari selanjutnya, biarlah hamba yang fakir ini tidak diketahui orang lagi."

Setelah kejadian itu, nama Uwais kembali tenggelam dan tidak terdengar beritanya.

Namun, ada seorang lelaki pernah bertemu dan dibantu oleh Uwais. Ketika itu kami berada di atas kapal menuju ke tanah Arab bersama para pedagang. Tanpa disangka-sangka angin taufan berhembus dengan kencang.

Akibatnya, hempasan ombak menghentam kapal kami sehingga air laut masuk ke dalam kapal dan menyebabkan kapal semakin berat. Pada saat itu, kami melihat seorang laki-laki yang mengenakan selimut berbulu di pojok kapal yang kami tumpangi, lalu kami memanggilnya.

Lelaki itu keluar daripada kapal dan melakukan solat di atas air. Betapa terkejutnya kami melihat kejadian itu.

"Wahai waliyullah, tolonglah kami!" Namun, lelaki itu tidak menoleh. Lalu kami berseru lagi,

"Demi Zat yang telah memberimu kekuatan beribadah, tolonglah kami!"

Lelaki itu menoleh kepada kami dan berkata,

"Apa yang terjadi?"

"Tidakkah engkau melihat bahawa kapal dihembus angin dan dihentam ombak?" Tanya kami.

"Dekatkanlah diri kalian pada Allah!" Katanya.

"Kami telah melakukannya."

"Keluarlah kalian daripada kapal dengan membaca Bismillahirrahmaanirrahiim!"

Kami pun keluar daripada kapal satu persatu dan berkumpul. Pada saat itu jumlah kami lima ratus lebih. Sungguh ajaib, kami semua tidak tenggelam, sedangkan perahu kami serta isinya tenggelam ke dasar laut.

Lalu orang itu berkata pada kami,

"Tidak apalah harta kalian menjadi korban, asalkan kalian semua selamat."

"Demi Allah, kami ingin tahu, siapakah nama Tuan?" Tanya kami.

"Uwais al-Qorni." Jawabnya dengan singkat.

Kemudian kami berkata lagi kepadanya,

"Sesungguhnya harta yang ada di kapal tersebut adalah milik orang-orang fakir di Madinah yang dikirim oleh orang Mesir."

"Jika Allah mengembalikan harta kalian. Apakah kalian akan membahagi-bahagikannya kepada orang-orang fakir di Madinah?" Tanyanya.

"Ya!" Jawab kami.

Orang itu pun melaksanakan solat dua rakaat di atas air, lalu berdoa. Setelah Uwais al-Qarni mengucap salam, tiba-tiba kapal itu muncul ke permukaan air, lalu kami menumpanginya dan meneruskan perjalanan. Setibanya di Madinah, kami membahagi-bahagikan seluruh harta kepada orang-orang fakir di Madinah, tiada satu pun yang tertinggal.

Beberapa waktu kemudian, tersiar khabar Uwais al-Qarni telah pulang ke rahmatullah. Anehnya, pada saat dia akan dimandikan tiba-tiba sudah banyak orang yang berebut untuk memandikannya. Dan ketika dibawa ke tempat pembaringan untuk dikafan, di sana sudah ada orang-orang yang menunggu untuk mengkafankannya.

Demikian juga ketika orang pergi hendak menggali kuburnya. Di sana ternyata sudah ada orang-orang yang menggali kuburnya hingga selesai. Ketika usungan dibawa menuju ke perkuburan, luar biasa banyaknya orang yang berebutan untuk mengusungnya.

Syeikh Abdullah bin Salamah menjelaskan,

"Ketika aku ikut menguruskan jenazahnya hingga aku pulang daripada menghantarkan jenazahnya, lalu aku ingin untuk kembali ke kubur tersebut untuk memberi tanda pada kuburnya, akan tetapi sudah tak terlihat ada bekas di kuburnya."

(Syeikh Abdullah bin Salamah adalah orang yang pernah ikut berperang bersama Uwais al-Qarni pada masa pemerintahan sayyidina Umar R.A.)

Pemergian Uwais al-Qarni telah menggemparkan masyarakat kota Yaman. Banyak terjadi hal-hal yang amat menghairankan. Sedemikian banyaknya orang yang tidak kenal datang untuk mengurus jenazah dan pengebumiannya, padahal Uwais adalah seorang fakir yang tidak dihiraukan orang.

Sejak dia dimandikan hingga jenazahnya hendak diturunkan ke dalam kubur, di situ selalu ada orang-orang yang telah siap melaksanakannya terlebih dahulu. Penduduk kota Yaman tercengang.

Mereka saling bertanya-tanya "Siapakah sebenarnya engkau wahai Uwais al-Qarni? Bukankah Uwais yang kita kenal, hanyalah seorang fakir yang tidak memiliki apa-apa? Kerjanya hanyalah sebagai penggembala?"

"Namun, ketika hari wafatmu, engkau telah menggemparkan penduduk Yaman dengan hadirnya manusia-manusia asing yang tidak pernah kami kenali. Mereka datang dalam jumlah sedemikian banyaknya."

Agaknya mereka adalah para malaikat yang diturunkan ke bumi, hanya untuk mengurus jenazah dan pemakamannya. Baru saat itulah penduduk Yaman mengetahuinya siapa Uwais al-Qarni.

"Dialah Uwais al-Qarni, tidak terkenal di bumi tapi sangat terkenal di langit."

AJAIB,JUTAAN ORANG BERBARIS HANYA BUTUH WAKTU 2 MENIT

Ada satu kisah di Saluran TV Majd beberapa tahun silam, nama program acaranya "Satu Keluarga".

Adalah Dr Yahya sebagai Da'i / Penceramahnya kala itu, dengan lantang ia mengatakan bahwa umat Muslim itu memang tidak pernah teratur, yang dibutuhkan umat Muslim adalah satu keyakinan untuk dapat melakukan suatu aksi.

Lantas beliaupun menceritakan satu kisah seseorang Amerika Non-Muslim yang memperbincangkan tentang Islam seraya menyaksikan sebuah program Live (siaran langsung) di sebuah channel lain.



Orang Amerika tersebut sangat kagum dengan dengan kerumunan orang-orang di Masjidil Haram, ada lebih dari (+)3,000,000 orang pada waktu itu yang berkumpul untuk shalat Isya di malam terakhir bulan Ramadhan.

Kondisinya sangat ramai dengan kerumunan orang-orang yang saling hilir mudik tidak beraturan.

----------------------------------------------------------------------
► Lalu Da'i tersebut bertanya kepada orang Amerika tadi :
----------------------------------------------------------------------

["How long do you think they’ll take to organize themselves in rows & start the Salaat ?"]

["كم من آلوقت يحتـآج هؤلآء لكي يكونوا في صفوف منظمة في رآيك؟"]

["Menurut anda, berapa lama waktu yang dibutuhkan supaya orang orang itu bisa baris dengan rapi ?"]


-------------------------------------------------
► Dan orang Amerika itupun menjawab :
-------------------------------------------------

["at least 2-3 hours."]

[".سـآعتين آلى ثـلآث سـآعآت"]

["Dua sampai tiga jam."]


------------------------------------
► Dan Da'i tadi menyatakan :
------------------------------------

["but the masjid (Haram) of Kaaba is 4 floors."]

["آن الحرم آربعة آدوآر"]

["Itu Masjidil Haram punya 4 tingkat loh."]


------------------------------------
► Si Amerika pun menjawab :
------------------------------------

["Oh, this's will make it about 12 hours then."]

["!إذن 12 سـآعه"]

["Kalo gitu butuh waktu dua belas jam."]


----------------------------------------------
► Sang Da'i pun kembali menjelaskan :
----------------------------------------------

["put in your mind that they are from countries all over the world with different languages."]

["آنهُم مختلفوا آللغـآت"]

["Mereka yang kamu lihat di TV itu datang dari negara berbeda & juga berbeda bahasa antara satu dengan yang lainnya."]


----------------------------------------------------
► Kembali orang Amerika itu menyanggah :
----------------------------------------------------

["THEN IT's IMPOSSIBLE TO ORGANIZE THEM BY ANY MEANS!!"]

["!!هؤلآء لآ يُمكن آصطفافهُم"]

["Wah, kalo gitu mereka sama sekali gak mungkin bisa baris."]


Akhirnya waktu shalat itupun tiba dengan tanda bunyinya suara Iqamah.


Tampak Sheikh Abdur-Rahman as-Sudais [imam besar Masjidil Haram] berdiri di posisi paling depan seraya berkata :

"Istawuu / آستوو / arrange yourselves"

Yang artinya "Luruskanlah shaf / barisan kalian masing-masing".

Maka berdirilah jutaan jama'ah tersebut dalam shaf-shaf / barisan yang tersusun menjadi rapi, dan membutuhkan waktu tidak lebih dari dua menit.

Lihatlah betapa agungnya agama ini, dengan memiliki sistemnya sendiri.

Si Amerika tadi terperanjat dengan argumennya sendiri yang dipatahkan oleh kenyataan yang ada di depannya.

Dipandanginya layar TV sejenak, dan kemudian ia mengucapkan :


"أَشْهد أَنْ لاَ إِلَـه إِلاَّ الله , وأَشْهد محمد رسول الله"

SEORANG AYAH BERTAUBAT DENGAN SEBAB ANAKNYA YANG MASIH BERUSIA 7 TAHUN

Satu lagi, kisah nyata di zaman ini. Seorang penduduk Madinah berusia 37 tahun, telah menikah, dan mempunyai beberapa orang anak. Ia termasuk orang yang suka lalai, dan sering berbuat dosa besar, jarang menjalankan shalat, kecuali sewaktu-waktu saja, atau karena tidak enak dilihat orang lain.

Penyebabnya, tidak lain karena ia bergaul akrab dengan orang-orang jahat dan para dukun. Tanpa ia sadari, syetan setia menemaninya dalam banyak kesempatan.

Ia bercerita mengisahkan tentang riwayat hidupnya:



“Saya memiliki anak laki-laki berusia 7 tahun, bernama Marwan. Ia bisu dan tuli. Ia dididik ibunya, perempuan shalihah dan kuat imannya.

Suatu hari setelah adzan maghrib saya berada di rumah bersama anak saya, Marwan. Saat saya sedang merencanakan di mana berkumpul bersama teman-teman nanti malam, tiba-tiba, saya dikejutkan oleh anak saya. Marwan mengajak saya bicara dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Mengapa engkau tidak shalat wahai Abi?”

Kemudian ia menunjukkan tangannya ke atas, artinya ia mengatakan bahwa Allah yang di langit melihatmu.

Terkadang, anak saya melihat saya sedang berbuat dosa, maka saya kagum kepadanya yang menakut-nakuti saya dengan ancaman Allah. Anak saya lalu menangis di depan saya, maka saya berusaha untuk merangkulnya, tapi ia lari dariku.

Tak berapa lama, ia pergi ke kamar mandi untuk berwudhu, meskipun belum sempurna wudhunya, tapi ia belajar dari ibunya yang juga hafal Al-Qur’an. Ia selalu menasihati saya tapi belum juga membawa faidah.

Kemudian Marwan yang bisu dan tuli itu masuk lagi menemui saya dan memberi isyarat agar saya menunggu sebentar… lalu ia shalat maghrib di hadapan saya. Setelah selesai, ia bangkit dan mengambil mushaf Al-Qur’an, membukanya dengan cepat, dan menunjukkan jarinya ke sebuah ayat (yang artinya):

”Wahai bapakku, sesungguhnya aku khawatir bahwa kamu akan ditimpa adzab dari Allah Yang Maha Pemurah, maka kamu menjadi kawan bagi syaithan” (Maryam: 45)

Kemudian, ia menangis dengan kerasnya. Saya pun ikut menangis bersamanya. Anak saya ini yang mengusap air mata saya. Kemudian ia mencium kepala dan tangan saya, setalah itu berbicara kepadaku dengan bahasa isyarat yang artinya, ”Shalatlah wahai ayahku sebelum ayah ditanam dalam kubur dan sebelum datangnya adzab!”

Demi Allah, saat itu saya merasakan suatu ketakutan yang luar biasa. Segera saya nyalakan semua lampu rumah. Anak saya Marwan mengikutiku dari ruangan satu ke ruangan lain sambil memperhatikan saya dengan aneh.

Kemudian, ia berkata kepadaku (dengan bahasa isyarat), ”Tinggalkan urusan lampu, mari kita ke Masjid Besar (Masjid Nabawi).”

Saya katakan kepadanya, ”Biar kita ke masjid dekat rumah saja.”

Tetapi anak saya bersikeras meminta saya mengantarkannya ke Masjid Nabawi.

Akhirnya, saya mengalah kami berangkat ke Masjid Nabawi dalam keadaan takut… Dan Marwan selalu memandang saya. Kami masuk menuju Raudhah. Saat itu Raudhah penuh dengan manusia, tidak lama datang waktu iqamat untuk shalat isya’, saat itu imam masjid membaca firman Allah (yang artinya),

”Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu mengikuti langkah-langkah syetan. Barangsiapa yang mengikuti langkah-langkah syetan, maka sesungguhnya syetan itu menyuruh mengerjakan perbuatan keji dan munkar. Sekiranya tidaklah karena karunia Allah dan rahmat-Nya kepada kamu sekalian, niscaya tidak seorang pun bersih (dari perbuatan-perbuatan keji dan munkar itu) selama-lamanya, tetapi Allah membersihkan siapa yang dikehendaki-Nya. Dan Allah Maha Mendengar dan Maha Mengetahui” (An-Nuur: 21)

Saya tidak kuat menahan tangis. Marwan yang berada disampingku melihat aku menangis, ia ikut menangis pula. Saat shalat ia mengeluarkan tissue dari sakuku dan mengusap air mataku dengannya. Selesai shalat, aku masih menangis dan ia terus mengusap air mataku. Sejam lamanya aku duduk, sampai anakku mengatakan kepadaku dengan bahasa isyarat, ”Sudahlah wahai Abi!” Rupanya ia cemas karena kerasnya tangisanku. Saya katakan, ”Kamu jangan cemas.”

Akhirnya, kami pulang ke rumah. Malam itu begitu istimewa, karena aku merasa baru terlahir kembali ke dunia. Istri dan anak-anakku menemui kami. Mereka juga menangis, padahal mereka tidak tahu apa yang terjadi.

Marwan berkata tadi Abi pergi shalat di Masjid Nabawi. Istriku senang mendapat berita tersebut dari Marwan yang merupakan buah dari didikannya yang baik.

Saya ceritakan kepadanya apa yang terjadi antara saya dengan Marwan. Saya katakan, “Saya bertanya kepadamu dengan menyebut nama Allah, apakah kamu yang mengajarkannya untuk membuka mushaf Al-Qur’an dan menunjukkannya kepada saya?”

Dia bersumpah dengan nama Allah sebanyak tiga kali bahwa ia tidak mengajarinya. Kemudian ia berkata, “Bersyukurlah kepada Allah atas hidayah ini.”

Malam itu adalah malam yang terindah dalam hidup saya. Sekarang -alhamdulillah- saya selalu shalat berjamaah di masjid dan telah meninggalkan teman-teman yang buruk semuanya.

Saya merasakan manisnya iman dan merasakan kebahagiaan dalam hidup, suasana dalam rumah tangga harmonis penuh dengan cinta, dan kasih sayang.

Khususnya kepada Marwan saya sangat cinta kepadanya karena telah berjasa menjadi penyebab saya mendapatkan hidayah Allah.”

Wallahua’lam bish Shawwab....
Semoga bermanfaat bagi yang membacanya ....

JAWABAN SEORANG ANAK KECIL KEPADA IBU GURU YANG MELARANG MEMAKAI JILBAB

Seorang gadis kecil pulang dari sekolah. Setibanya di rumah, ibunya melihat anak putrinya dirundung kesedihan. Maka ia pun bertanya kepada putrinya itu tentang sebab kesedihannya. Anak: “Aduhai ibuku, sesungguhnya ibu guru telah mengancam akan mengusirku dari sekolah karena pakaian panjang yang kupakai.”

Ibu: “Tetapi itu adalah pakaian yang dikehendaki oleh Allah, wahai putriku.”

Anak: “Benar, wahai ibu, akan tetapi ibu guru tidak menghendakinya.”
Ibu: “Baiklah, wahai putriku, guru itu tidak menghendaki, tetapi Allah meng¬hendakinya. Lalu siapakah yang akan kamu taati? Apakah kamu akan mentaati Allah yang telah menciptakanmu dan membentukmu, serta yang telah mengaruniakan kenikmatan kepadamu? Ataukah kamu akan mentaati seorang makhluk yang tidak mampu memberikan manfaat dan madharat kepada dirinya?”


Anak: “Sesungguhnya saya akan taat kepada Allah.”

Ibu: “Bagus, wahai putriku, kamu tepat sekali.”
Pada hari berikutnya, gadis kecil itu pergi dengan mengenakan baju yang panjang. Tatkala ibu guru melihatnya, ia langsung mencela dan memarahinya dengan keras. Gadis kecil itu tidak mampu memikul amarah tersebut, ditambah lagi oleh pandangan teman-teman perempuannya yang mengarah kepadanya.
Tidak ada yang ia lakukan selain berteriak menangis. Kemudian, gadis kecil itu mengeluarkan kata-kata yang besar maknanya meski sedikit jumlahnya, “Demi Allah, saya tidak tahu siapa yang akan saya taati, anda ataukah Dia?”
Ibu guru itu pun bertanya, “Siapakah Dia itu?”

Anak itu menjawab, “Allah. Apakah saya harus taat kepada anda, sehingga saya mesti memakai pakaian seperti yang engkau kehendaki, tetapi saya berbuat maksiat kepada-Nya. Ataukah saya mentaati-Nya dan tidak mentaati engkau? Ah, biarlah saya akan mentaati-Nya saja, dan apa yang terjadi terjadilah.”
Aduhai, betapa agungnya kalimat yang keluar dari mulut si kecil itu. Sebuah kalimat yang menampakkan wald (ketaatan) yang mutlak kepada Allah. Gadis kecil itu bertekad untuk berpegang kuat dan taat ke¬pada perintah Dzat Yang Maha Esa lagi Maha Perkasa Akan tetapi.apakah bu guru itu hanya berdiam saja darinya?
Ibu guru itu meminta dipanggilkan ibu si anak kecil tersebut. Apa yang ia inginkan darinya?

Maka datanglah si ibu itu..
Ibu guru berkata kepada ibu anak kecil itu, “Sesungguhnya putri anda telah menasihatiku dengan nasihat paling besar yang pernah aku dengar di sepanjang hidupku.”
Benar, ibu guru telah mengambil pelajaran dan nasihat dari murid kecilnya. Ibu guru yang mengajarkan pendidikan dan telah mengambil bagian yang besar dari ilmu.
Seorang guru yang ilmunya tidak dapat menghalanginya untuk mengambil nasihat dari seorang gadis kecil yang mungkin seusia dengan putrinya.

Salam penghormatan, semoga terlimpahkan kepada guru ini. Salam peng¬hormatan juga untuk gadis kecil yang telah memberikan pendidikan Islamiyah dan telah berpegang kepadanya.
Salam penghormatan untuk sang ibu yang telah menanamkan dalam diri putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya. Seorang ibu yang yang telah mengajarkan kepada putrinya rasa cinta kepada Allah dan Rasul-Nya.

Wahai ibu-ibu muslimah, di depan anda lah anak-anak anda. Mereka seperti adonan tepung. Anda bisa membentuknya sebagai-mana yang anda kehendaki, maka bersegera-lah untuk membentuk mereka dengan bentuk yang diridhai oleh Allah dan Rasul-Nya.
Ajarkanlah shalat kepada mereka
Ajari mereka ketaatan kepada Allah
Ajari mereka untuk bisa tetap tegar dan kokoh di atas kebenaran
Ajarkanlah semua itu kepada mereka, sebelum mereka menginjak usia baligh.
Karena jika pada saat mereka masih kecil tidak mendapatkan pendidikan yang baik, maka sesungguhnya anda sekalian akan menyesal dengan penyesalan yang besar, karena mereka akan menjadi anak-anak yang menyimpang pada saat mereka telah dewasa.
Gadis kecil ini tidak hidup pada zaman Sahabat dan juga Tabi’in. Sesungguhnya ia hidup pada zaman modern sekarang ini

Kisah Nyata :SENYUM INDAH SANG BIDADARI

"Bunda, puasa itu wajib ya? Kata bu guru Ila, puasa itu wajib buat semua muslim," tanya Nabila sepulang sekolah. "Ila juga mau ikutan puasa ah, supaya dapat pahala dan masuk syurga," lanjutnya.

"Ila mau masuk syurga, Nda. Ila mau jumpa Allah," ia masih melanjutkan kalimat penuh antusias dari bibir mungilnya. "Kalau Ila masuk syurga, Ila bisa jumpa ayah ya, Nda? Tapi nanti siapa yang jagain Bunda?"

Aku hanya tersenyum mendengar celotehannya, seperti biasa ia akan terus berceloteh riang tanpa henti. "Iya sayang, jadi Ila juga mesti belajar puasa dari sekarang ya, supaya Allah makin sayang sama Ila," sahutku bahagia mendengar semangat putri kecilku itu.



Ketika mengantarnya tidur, ia kembali mengingatkan untuk membangunkannyasaat sahur nanti. Ia berbisik di telingaku saat aku mengecup keningnya di tempat tidur, "Nda, kalau besok Ila puasa penuh, do'ain Ila cepat jumpa ama Allah ya," pintanya polos.

Deg! Ada perasaan lain menyergapku. Ah, segera kutepis rasa aneh itu. Seharusnya aku bersyukur ia tidak seperti teman-teman sebayanya yang sulit diajak belajar berpuasa. Aku mengiyakan dan hanya mengangguk dalam diam, ribuan syukur kupanjatkan padaNya karena telah menganugerahkanku seorang putri kecil yang luar biasa.

Di sepertiga terakhir malamku, kembali kutumpahkan airmata kesyukuran atas karuniaNya memberiku Nabila di sebuah episode kehidupanku. Kuhiba segunung pinta agar Dia selalu menjaganya di tiap desah nafas yang Ia berikan. Tiada lain yang kuinginkan selain menjadikan putriku seorang wanita shalihah bidadariMU di dunia.

Nabila terlihat begitu bersemangat menyantap sahurnya. Ia mengambil sayur yang biasa enggan disentuhnya tanpa kuminta. Benar-benar sahur pertama yang begitu berkesan bagiku, sama seperti sahur pertama beberapa tahun lalu saat aku merasakan berpuasa pertama dengan status baruku sebagai seorang istri dari lelaki pilihan yang dipilihkanNya.

Pagi ini, sebelum mengantar Nabila ke sekolah, kusempatkan mampir ke toko peralatan kue untuk membeli beberapa bahan yang kubutuhkan. Kuajak Nabila turun dan kugandeng ia masuk ke dalam toko. Aku sibuk memilih beberapa bahan hingga tak sadar bahwa Nabila tak lagi di sampingku.

Tiba-tiba kudengar beberapa wanita menjerit dan orang-orang berlarian di luar toko. Aku tersadar Nabila tak ada di dekatku. Aku panik dan ikut berlari ke luar karena aku tak bisa menemukannya di dalam toko.

Aku berlari ke arah kerumunan orang ramai dan sesaat kurasakan bumi seolah berhenti berputar. Bumi tempatku berpijak seakan-akan menarik segenap kemampuanku tuk bergerak. Di depanku, Nabila tergeletak dengan baju seragam putihnya yang berlumuran darah.

Segera kudekap ia erat dan menggendongnya sigap. Aku dibantu beberapa orang di sekitar lokasi segera melarikan buah hatiku ke rumah sakit. Di dalam mobil kudengar orang-orang mengatakan bahwa putriku adalah korban tabrak lari.

Sungguh aku tak peduli bagaimana kejadian sebenarnya atau siapa pun pelakunya, bagiku saat ini yang terpenting adalah menyelamatkan nyawa putri mungilku. Sepanjang perjalanan, tak henti-hentinya aku beristighfar dan mengajak bicara putriku dan memintanya bertahan.

Nabila mengeluarkan desah-desah kecil yang berusaha kutangkap, "Nda, sakit. Kepala Ila, Nda." Jelas terlihat ia menahan sakit yang tak tertahankan.

Sekuat tenaga aku berusaha menyimpan tangisan yang sudah menyesak di dada. Aku tak boleh terlihat menangis karena itu akan membuatnya lebih sakit dan panik. Aku harus terlihat tenang agar semangatnya muncul untuk berjuang melawan sakitnya.

"Ila sabar ya sayang, kita hampir sampai ke rumah sakit. Bunda tahu anak bunda kuat, Ila harus bertahan ya sayang, Allah pasti bantu Ila supaya sembuh," ah, derai itu sulit sekali terbendung saat melihat raut wajah bidadari kecilku yang pucat menahan sakit. Darah terus mengalir dari pelipisnya.

"Nda, Allah sayang Ila kan. Allah mau kan jumpa Ila?" parau suaranya masih bisa terdengar di telingaku.

Sebuah senyuman tersungging di bibir mungilnya. Senyuman terindah yang pernah ia punya. Ah, semakin erat dekapanku seolah ia tak ingin kulepaskan lagi.

Aku seolah terseret ke peristiwa 2 tahun silam saat aku berada di posisi yang sama, mendekap seseorang yang sudah menjadikanku permaisuri di taman hatinya meregang nyawa setelah sebuah mobil menabraknya tepat di depan pintu gerbang setelah mengantarkanku ke sekolah tempatku mengajar. Masih terpahat di ingatan, senyuman terakhir yang diberikannya sore itu. Ya Rabb, kuatkan hamba.

Sampai di rumah sakit, Ila segera dilarikan ke ruang gawat darurat. Dokter memintaku untuk menunggu di depan ruang operasi karena ternyata Ila harus segera dioperasi disebabkan pendarahan hebat di kepala dan punggungnya.

Aku merasa detik demi detik merambat begitu perlahan di ruang tunggu itu. Setelah hampir 2 jam menghabiskan waktu dengan kecemasan yang sulit digambarkan di depan ruang operasi itu, akhirnya aku menyeret langkahku ke arah mushala di ujung koridor tuk mengadukan segala gundah yang kurasakan di atas sajadah cintaNya.

Setulus kalbu kupinta dan kurayu pada sang pemberi hela nafas agar Ia menyembuhkan putri kecilku. Namun di sebalik semua itu, aku hanya meminta yang terbaik dariNya untuk cahaya mataku itu, karena aku yakin apa pun yang diputuskanNya, maka itu adalah yang terbaik untuknya, untukku, dan untuk semuanya.

Aku hanya meminta Dia memberiku kekuatan melalui semua ini. Ketenangan semakin kurasakan saat lirih ayat-ayat cintaNya itu kulafadzkan lirih. Ada rasa damai yang tiba-tiba hadir menyelusup di sanubari.

Kembali ke ruang tunggu kujumpai seorang wanita separuh baya yang kurasakan juga sedang menghadapi gundah yang sama. Ah, ruang ini, bangunan ini, seakan airmata, kegelisahan, dan kecemasan tersketsa di tiap sudut rumah sakit.

Setelah hampir 4 jam menunggu dengan kecemasan yang tak tergambarkan, dokter itu ke luar dan menatapku dengan tatapan sendu. Aku hafal sekali tatapan itu, tatapan yang sama saat lelaki yang telah menjadikanku seorang ibu itu dibawa masuk ke ruang operasi, tatapan serupa saat wanita yang menjadi perantara hadirku ke dunia harus melawan maut di meja operasi itu.

Ya Allah, kupinta kekuatan dariMU. "Nda, kalau besok Ila puasa penuh, do'ain Ila cepat jumpa ama Allah ya," terdengar lagi pintanya semalam.

Inna lillahi wa inna ilaihi raji'un ...

Kulihat wajah Nabila pucat seperti kapas, namun di wajahnya senyum manis itu tak jua sirna, tak lagi kulihat sebuah derita di sana, yang tersisa hanya sebuah senyuman yang mengiringinya menghadap sang pemilik kehidupan.

Senyum yang juga diberikan ayahnya saat ia pergi meninggalkan dunia fana ini. Airmata tak lagi bisa kubendung saat kutatap lekat wajah bidadari kecilku itu, seolah ingin kupahat tiap detil wajahnya di dinding hati agar sketsa itu takkan pernah pudar tuk selamanya.

Selamat jalan, sayang. Kau pergi disaat mulia, disaat kau mulai meraba arti kehidupan di usiamu yang belia, disaat kau mulai tertatih belajar mencintaiNya, di Ramadhanmu yang pertama. Kau dapatkan kebahagiaan orang yang berpuasa, kebahagiaan akan perjumpaan denganNya.

Bunda mencintaimu, nak. Sangat, namun ternyata cintaNya padamu telah menguntum saat cinta bunda masih berputik. Bunda sadar cintaNya akan lebih bisa membuatmu bahagia. Dia jauh lebih mencintaimu, sayang.

Hingga Dia tak rela kau dibius cinta dunia, karena itu Ia ingin kau ada di sisiNya. Bunda janji, bunda akan berusaha sekuat tenaga untuk bisa memelukmu lagi. Do'akan bunda, ya nak. Bunda sayang Ila, nak.

- Penulis : Nur Akmaliyah -

Wednesday, September 5, 2012

Pesan Ibu

Suatu hari, tampak seorang pemuda tergesa-gesa memasuki sebuah restoran karena kelaparan sejak pagi belum sarapan. Setelah memesan makanan, seorang anak penjaja kue menghampirinya, "Om, beli kue om, masih hangat dan enak rasanya", "Nggak dik, saya lapar mau makan nasi saja." kata si pemuda menolak. Sambil tersenyum si anak pun berlalu dan menunggu di luar restoran.

Melihat si pemuda telah selesai menyantap makanannya, si anak menghampiri lagi dan menyodorkan kuenya. Si pemuda sambil beranjak ke kasir hendak membayar makanan berkata, "tidak dik, saya sudah kenyang." Sambil berkukuh mengikuti si pemuda, si anak berkata, "Kuenya bisa buat oleh-oleh pulang om." Dompet yang belum sempat dimasukan ke kantong pun dibukanya kembali, dikeluarkan 2 lembar ribuan dan mengangsurkan ke anak penjual kue "Saya tidak mau kuenya. Uang ini anggap saja sedekah dari saya."

Dengan senang hati diterimanya uang itu dan bergegas dia ke luar restoran memberikannya kepada pengemis di depan restoran. Merasa heran dan sedikit tersinggung si pemuda menegurnya, "Hai adik kecil, kenapa uangnya kamu berikan kepada orang lain? Kamu berjualan kan untuk mendapatkan uang, kenapa setelah uang ada di tanganmu malah kamu berikan ke orang lain?"

"Om jangan marah ya. Ibu saya mengajarkan kepada saya untuk mendapatkan uang dari usaha berjualan, bukan dari mengemis. Kue-kue ini dibuat oleh Ibu saya sendiri dan Ibu pasti akan sedih dan marah, jika saya menerima uang dari om bukan hasil menjual kue. Tadi om bilang, uang sedekah, maka uangnya saya berikan kepada pengemis itu." Si pemuda merasa takjub dan menganggukkan kepala tanda mengerti. "Baiklah, berapa banyak kue yang kamu bawa? Saya borong semua untuk oleh-oleh." Si anak pun segera menghitung dengan gembira.

Sambil menyerahkan uang si pemuda berkata, "Terima kasih dik atas pelajaran hari ini. Sampaikan salam saya kepada ibumu." Walaupun tidak mengerti tentang pelajaran apa yang dikatakan si pemuda, dengan gembira diterimanya uang itu sambil berucap, "Terima kasih om. Ibu pasti akan senang sekali, hasil kerja kerasnya dihargai dan itu sangat berarti bagi kehidupan kami."

Pembaca yang budiman,

Dari hasil didikan seorang ibu yang luar biasa, lahirlah anak yang hebat! Walaupun mereka miskin harta, tetapi mereka kaya mental! Menyikapi kemiskinan bukan dengan mengemis dan minta belas kasihan dari orang lain tetapi dengan bekerja keras, membanting tulang. Karena sesungguhnya, KERJA ADALAH KEHORMATAN bagi setiap manusia!

Saturday, September 1, 2012

fotomodel gagal


1 September 2012, 12:08AM

apakah mereka yg kau pimpin mengikuti langkahmu ke mesjid? apakah mereka msh brsemangat mngerjakan shalat? shalat tepat waktu?
apakah mereka tdk saling menzalimi?
apakah mereka msh mencintai jabatan & harta?
apakah kau bisa mnjadi contoh yg baik utk mereka?
apakah kau bisa mengarahkan mereka mnjadi lebih baik?
apakah kau merasa pantas mnjadi pemimpin, sementara mreka tdk mngambil hal yg baik dari dirimu?
mereka lebih mencintai dunia, apakah kau bisa menyadarkan mreka?

saat dunia sudah lupa & terlanjur tenggelam dalam kesibukan mengejar nikmat dunia, terlupa akan ajaran Islam yg mulia, terhanyut oleh tipu daya setan & sistem yg tidak berlandaskan Islam di segala bidang, terasa sulit bagiku...

hanya bisa bertahan sendiri, terasing dalam riuh dunia yg fana...
tapi dibalik semua itu, ada kenikmatan tersembunyi.. masih bisa melihat & belajar.. dan sdikit memberi nasehat, walaupun lebih banyak dicuekin... hehehe...