Friday, April 26, 2013

Kisah Pengantin Wanita

pengantin muslim 

Kisah nyata yang diceritakan oleh Syaikh Abdul Muhsin Al Ahmad ini terjadi di Abha, ibu kota Provinsi Asir Arab Saudi.

“Setelah melaksanakan shalat Maghrib dia berhias, menggunakan gaun pengantin putih yang indah, mempersiapkan diri untuk pesta pernikahannya. Lalu dia mendengar azan Isya, dan dia sadar kalau wudhunya telah batal.

Dia berkata pada ibunya : “Bu, saya mau berwudhu dan shalat Isya.”

Ibunya terkejut : “Apa kamu sudah gila? Tamu telah menunggumu untuk melihatmu, bagaimana dengan make-up mu? Semuanya akan terbasuh oleh air.”

Lalu ibunya menambahkan : “Aku ibumu, dan ibu katakan jangan shalat sekarang! Demi Allah, jika kamu berwudhu sekarang, ibu akan marah kepadamu”

Anaknya menjawab : “Demi Allah, saya tidak akan pergi dari ruangan ini, hingga saya shalat. Ibu, ibu harus tahu “bahwa tidak ada kepatuhan kepada makhluk dalam kemaksiatan kepada Pencipta”!!

Ibunya berkata : “ Apa yang akan dikatakan tamu-tamu kita tentang mu, ketika kamu tampil dalam pesta pernikahanmu tanpa make-up?? Kamu tidak akan terlihat cantik dimata mereka! dan mereka akan mengolok-olok dirimu !

Anak nya berkata dengan tersenyum : “Apakah ibu takut karena saya tidak akan terrlihat cantik di mata makhluk? Bagaimana dengan Penciptaku? Yang saya takuti adalah jika dengan sebab kehilangan shalat, saya tidak akan tampak cantik dimata-Nya”.

Lalu dia berwudhu, dan seluruh make-up nya terbasuh. Tapi dia tidak merasa bermasalah dengan itu.

Lalu dia memulai shalatnya. Dan pada saat itu dia bersujud, dia tidak menyadari itu, bahwa itu akan menjadi sujud terakhirnya.

Pengantin wanita itu wafat dengan cara yang indah, bersujud di hadapan Pencipta-Nya.

Ya, ia wafat dalam keadaan bersujud. Betapa akhir yang luar biasa bagi seorang muslimah yang teguh untuk mematuhi Tuhannya!

Banyak orang tersentuh mendengarkan kisah ini. Ia telah menjadikan Allah dan ketaatan kepada-Nya sebagai prioritas pertama.

“Subhanallah”

***

Dari: Andrian Jumari

Di Bengkel Itu Ada Ayat Allah


cahaya-kebenaran 
Jika orang punya mata batin yang tajam dan rindu menemukan ayat-ayat Allah, yang tersebar di mana-mana, tak usahlah menguasai teori Big Bang (Ledakan Dahsyat). Atau harus paham karya fisikawan invalid Inggris, Stephen Hawking – A Brief History of Time – yang belum tentu mudah dicerna.

Ayat Allah dapat dijumpai pada peristiwa atau fenomena alam atau sosial yang sifatnya sangat sederhana. Bisa diamati pada air serasah yang terjun, pada semut yang beriring, pada lebah yang bergantungan, pada bunyi siamang ketika subuh, atau pada kicau murai di pagi hari. Juga pada dengungan kipasan sayap enggang saat terbang tinggi, pada percakapan seorang bocah dengan orangtuanya, serta pada sikap Pak Bengkel yang lugu, tulus, dan murah hati.

Kepatuhan alami

Demikianlah di hari Natal lalu, 25 Desember 2012, menjelang dzuhur saya bersepeda di kitaran Desa Trihanggo, Sleman, Yogyakarta, untuk mencari onderdil komponen rantai sepeda yang harus segera diganti. Jika tuan dan puan melewati jalan Kabupaten Sleman dari Jalan Godean mengarah ke utara, dalam jarak sekitar 2 kilometer akan dijumpai pohon beringin besar, persis di persimpangan empat jalan. Melaju ke arah timur pada jarak sekitar 1 kilometer di kanan jalan sebelum jembatan, ada bengkel sepeda yang laris dikunjungi langganannya. Di bengkel inilah saya memerhatikan ayat Allah dalam dua fenomena sederhana yang saling berkaitan. Keterkaitan itu tampak terjalin akrab sekali.

Ada seorang ayah bersama anak perempuannya yang masih belajar di taman kanak-kanak milik A’isyiyah sedang mengganti pedal sepeda bocah ini yang tak lagi bisa dipakai. Warna pedal itu dipilih yang merah jambu agar serasi dengan warna sepedanya. Saya perhatikan baik-baik tingkah bocah alit itu, tampaknya bahagia sekali karena pedal sepedanya diganti dengan yang baru. Sebuah kebahagiaan yang sangat tulus dari sebuah keluarga kebanyakan.

Tiba-tiba penjaja es krim lewat. Si bocah minta kepada ayahnya agar dibelikan es kesukaannya itu. Ayahnya, dalam bahasa Jawa, dengan lembut menjawab, ”Marahi watuk (bisa menyebabkan batuk).”

Si bocah sama sekali tidak berontak agar ayahnya memenuhi juga permintaannya. Tak ada rengut, tak ada gerutu. Malah bocah ini senyum-senyum sambil dengan lincah mengitari ayahnya. Bukankah sebenarnya seorang bocah sulit sekali dipisahkan dengan es krim?

Dalam batin saya menduga bahwa suasana rumah tangga keluarga bocah ini tenteram sekali. Ayat Allah terlihat pada sikap ayah yang lembut terhadap anak dan sikap anak yang patuh kepada orangtua: sebuah kepatuhan alami hasil didikan dini yang teratur dan santun.

Tidak mudah ditemukan di kawasan modern buah didikan anak semacam ini. Kegirangan bocah ini kian memuncak ketika ayahnya melengkapi sepedanya dengan sebuah bel yang dipasang pada bagian kanan setang. Untuk keseluruhan ongkos plus onderdil, Pak Bengkel cuma meminta Rp 25.000, sebuah angka kacang goreng di kawasan kota.

Sikap Pak Bengkel yang satu ini tak kurang memukau untuk dicatat. Semua serba murah. Ada lagi seorang laki-laki setengah baya (rupanya kenal dengan saya) menambalkan ban sepeda motornya yang bocor. Setelah rampung, Pak Bengkel saya tanya berapa ongkosnya. Dijawab, antara Rp 5.000 dan Rp 6.000, padahal pengerjaannya cukup lama karena karet penambal ban harus dipanaskan lebih dulu.

Sekarang tibalah giliran sepeda saya ganti onderdil. Kebetulan barang yang diperlukan tersedia. Ada dua yang boleh diganti. Pak Bengkel bertanya, apakah diganti satu atau dua sekaligus? Jawab saya: mana yang baiklah. Lalu diperiksa: cukup satu saja, katanya. Tak terbetik pada pikiran Pak Bengkel untuk melariskan barang dagangannya, toh, saya tidak akan bertanya jika keduanya diganti.

Setelah rampung, ongkos plus harga onderdil yang diminta hanya Rp 5.000. Saya terkejut, mengapa terlalu murah, di mana ongkos teknisi dan keringat? Tentu secara moral saya tidak boleh hanya memberi ongkos hanya sejumlah yang diminta.

Di luar pola umum

Sebagai bengkel yang laris, saya tanya mengapa tidak sekalian jualan bensin. Jawab Pak Bengkel polos: agar berbagi rezeki dengan tetangga yang punya kedai bensin, sekalipun banyak orang menanyakan BBM itu kepadanya.

Pada sikap Pak Bengkel ini jelas sekali terbaca ayat Allah: rezeki teman jangan direbut, sekalipun peluang untuk menambah pendapatan terbuka lebar. Kearifan Pak Bengkel ini adalah penyimpangan dari pola umum yang sedang berlaku di Indonesia: saling menelikung, saling gasak, dan jika perlu saling menghancurkan demi berebut rezeki.

Perkara haram atau halal sudah berada di luar pertimbangan. Kultur Pak Bengkel yang masih bebas dari pencemaran ini mungkin merupakan sisa-sisa sifat asli Indonesia yang belum tergerus oleh ganasnya sisi buruk proses modernisasi.

***

Ahmad Syafii Maarif, Pendiri Maarif Institute

Tuesday, April 16, 2013

Dan Gerbong Kereta Pun Bersaksi

pedagang kereta api 

“Kemarin kau tak mengaji. Hari ini tak mengaji, tak sembahyang pula kau, mau jadi manusia macam apa kau nak,” tegur seorang ibu kepada anak lelakinya yang baru berusia sekitar delapan tahun.

“Bukannya tak mau sembahyang mak. Di kereta banyak pembeli, kan sayang. Lagipula itu kan rejeki,” sanggah sang anak yang masih menggendong kotak rokok dan permen dagangannya.

“Hey , apa kau bilang??? Rejeki tu sudah ada yang mengaturnya. Bukan kau yang menentukan apa kau dapat rejeki atau tidak hari ini. Kalau kau tak berdoa pada-Nya, mungkin esok kau tak seberuntung hari ini,”.

Kata-kata itu, sungguh membuat ku terkesima. Sebuah cuplikan fragmen keimanan yang kutangkap hanya beberapa menit saat kuberdiri di Stasiun Kereta Api Pasar Minggu, Jakarta, tak seberapa masa menjelang Maghrib. Ada gemuruh yang menderu di dalam dada ini melihat pemandangan menakjubkan di depanku, terlebih mendengar dialog yang lumayan menggetarkan itu. Betapa tidak, seorang ibu yang tengah menggendong anaknya yang masih balita, ditemani putri sulungnya yang berusia tidak lebih dari dua belas tahun, meski tidak serapih muslimah-muslimah yang biasa kutemui di kampus-kampus atau perkantoran, tapi ia berusaha untuk menutupi bagian kepalanya dengan jilbab lusuh, bahu membahu bersama sang Ayah berdagang di emperan stasiun KA Pasar Minggu. Sementara anaknya yang lelaki, diberinya tanggungjawab berjualan rokok, tissue dan permen di gerbong KA Jabotabek.

Mari, ingin sekali kuajak Anda merenung tentang mereka sebelum bicara tentang diri kita sendiri. Setiap dini hari mata terjaga mendahului kokok ayam paling pagi untuk mengepak barang-barang yang akan digelar di stasiun kereta api yang berdebu, kadang sesak di pagi dan sore hari saat jam pergi dan pulang kantor, yang sudah pasti tak berpengatur udara. Tak ada kursi empuk selain alas koran yang tidak jarang membuat pinggang dan tulang bokong mereka pegal-pegal sekaligus panas, jika tak sering-sering bangun, kemudian duduk kembali sekedar melancarkan peredaran darah. Keringat yang keluar tak bisa diukur dari nine to five seperti kebanyakan kita. Sedangkan si bocah lelaki keluar masuk dan turun naik dari gerbong ke gerbong, dari pagi hingga sore menjelang dengan segala bentuk bahaya yang senantiasa menanti.

Tapi, tak sedikitpun mereka ragu bahwa Dia-lah yang mengatur semua rizki bagi manusia, tidak terkecuali mereka. Sehingga sedemikian marahnya si ibu setelah mendapat laporan dari si sulung bahwa anak lelakinya sudah dua hari tak mengaji, dan hari ini kedapatan tak sembahyang Dzuhur.

Kemudian mari tengok diri ini. Di pagi hari tak perlu memanggul karung dan dus yang berat, untuk menggelarnya terpal di emperan manapun. Kita hanya perlu naik kendaraan menuju kantor, duduk di kursi yang empuk, mungkin tak ada peluh yang harus dibasuh karena seharian bekerja di ruangan ber-AC, dan tidak jarang masih mendapatkan pelayanan khusus dari office boy.

Namun dengan kondisi yang demikian lebih baik, tidak jarang dzuhur dan ashar tertinggal, minimal sholat dzuhurnya menjelang ashar. Itu pun jika sempat. Seringkali kesibukan dan terlalu banyak pekerjaan menjadi alasan untuk tak melafazkan barang satu ayatpun kalimah-Nya. Tak mengertikah kita bahwa mungkin saja Dia yang maha mengatur rizki itu tak lagi memberikan kita semua kesibukan yang hari ini menjadi alasan untuk tak mendekati-Nya?

Sungguh, enggankah kita membiarkan semua pekerjaan, komputer, meja kerja, kursi empuk, telepon yang berdering-dering itu kelak menjadi saksi di hadapan Allah, bahwa mereka pernah ditinggal oleh pemiliknya di waktu-waktu tertentu saat kita bermunajat pada-Nya?

Adzan Maghrib pun berkumandang, kuikuti punggung-punggung mereka yang menuruti langkah-langkah kecil menuju mushola.


*copas dari forum sebelah*