Tuesday, March 20, 2012

Nahkoda Surga

“Nak, ayo sholat.. Sudah adzan. “ ajak sang ayah.

“Iya, bentar …nanggung nih, yah.. Kartunnya belum selesai. “ujar sang anak.

“Sudah, ayo.. sholat dulu! Sejak kapan anak ibu males begini ya? “ masih dengan kesabarannya, sang ibu ikut mewarnai percakapan sore itu.

Si kecil itu, 12 tahun usianya. Bungsu dari 2 bersaudara. Melihat tiba-tiba televisi dimatikan begitu saja oleh ibu, membuat si kecil berat untuk melangkahkan kaki menuju tempat wudhu.

”Ayah.. shalat berjama’ah, yuk..! ” ajak sang kakak sudah siap dengan mukena yang menutupi auratnya.

”Udah.. shalat dulu aja! Ayah masih ingin santai. ” jawab sang ayah.

”Ayah kok gitu..Ya sudah, saya shalat ma adik ya...” ujar sang kakak, kecewa.

”Nggak ah.. nggak! Adik nggak mau shalat bareng kakak. Pokoknya adik shalat sendiri aja!”jawab si kecil, mengelak.

Tak lama kemudian...

”Lho, sholat apa ini? Kok sebentar. Berapa raka’at shalat magribnya?” tiba-tiba sang ibu melontarkan sekian banyak pertanyaan saat si kecil keluar dari kamarnya.

“Sudah sholat kok, bu..” jawab si kecil.

"Shalat apa? Belum semenit kok sudah selesai? Sudah berdo’a, belum??” tanya sang ayah penuh curiga.

” Udah kok yah.. ” ujar si kecil

“Nggak.. nggak.. ayo sholat lagi! Sholat kok gitu..” perintah sang ayah, sedikit keras.

”Kak, coba adiknya diintip, sholatnya bener atau nggak itu? ” perintah ibu.

Tiba-tiba...
”Ayah sama ibu ini gimana? Kalo nggak ingin sholatnya adiknggak bener, ya sholat berjama’ah!” ujar sang kakak sedikit jengkel, sambil berlalu menuju kamarnya.

Sang kakak menangis. Sementara sang ibu dan ayah yang duduk santai di ruang keluarga, terheran-heran dengan apa yang baru saja terjadi. Si kecil baru saja selesai sholat magrib untuk kedua kalinya. Entahlah, apakah durasi sholatnya lebih lama dan lebih khusyuk dari sebelumnya atau tidak.

***

Kakak menangis lantaran kecewa dengan ayah ibunya. Ia gadis berusia19 tahun yang baru siang tadi tiba di Jakarta. Ia mahasiswa kedokteran di Surabaya. Liburan ini ia sengaja pulang ke rumah lantaran rindu dengan keluarganya. Tapi yang ia dapat adalah kekecewaan, persis seperti kekecewaan yang ia rasa saat liburan setahun lalu. Ya, terulang.

Allah membangunkannya tepat pukul 2.30 dini hari. Kekecewaan malam tadi membuat ia ingin segera mengadu pada Allah. Gemericik air wudhu mengalir perlahan di tengah keheningan malam. Hanya ia seorang.

Shalat ditegakkan. Sesekali terdengar sesenggukan, air mata kembali mengalir membasahi pipinya. Kepasrahan begitu mendalam..

“Rabb, aku begitu mensyukuri hidayah yang Kau anugerahkan padaku. Dulu, aku bimbang harus kuliah di mana. Ternyata kehendak-Mu berkata aku harus perantauan ke luar kota. Karena itu, aku meminta agar Kau saja yang menjaga keluargaku dengan sebaik-baik penjagaan. Menjaga keselamatan mereka dan keimanan mereka, sebagimana Kau pun menjagaku dan keimananku selama aku menuntut ilmuMu. Rabb, tapi apa yang terjadi? Semalam tadi ayah enggan diajak shalat berjamaah, hingga akhirnya aku merespon dengan nada ketusku. Aku berlebihan terhadap lisanku, Rabb.. aku menyesal dan mohon ampunan-Mu..” kakak tak tahan meluapkan kesedihannya.

”Rabb, aku rindu shalat berjamaah bersama mereka. Saat ketaatan kami disatukan oleh takbir berjamaah mengagumi kebesaran asma-Mu. Saat penghambaan kami luluh dalam nikmatnya kebersamaan sujud menghadap-Mu. Saat ayat-ayat Qur’an begitu asyik kami lantunkan bersama seusai shalat berjamaah. Kerapkali ayah memberi nasihat pada kami sesuai tafsir ayat-ayat Qur’an yang kami baca saat itu. Keindahan yang agung. Duhai Rabb, kapan kerinduanku ini terobati..?” tanya itu mengakhiri doanya.

Sang kakak hanyalah anak yang rindu akan didikan orang tuanya. Didikan spiritual tentunya. Sekalipun hanya sesederhana shalat berjamaah bersama keluarga. Sang kakak memiliki sisi pandang yang berbeda. Shalat berjamaah itu begitu berharga baginya, terlebih saat ini statusnya adalah mahasiswa yang jauh dari orang tua. Ia rindu akan kehangatan keluarga yang dibalut dengan ketaatan menjalankan perintahNya.

***

”Hai orang-orangyangberiman, peliharalah dirimu dan keluargamu dari api neraka...” (At-Tahriim:6)

Adakah keluarga yang setelah dipisahakan oleh maut, tidak berkeinginan disatukan kembali oleh-Nya di surga nanti? Hingga kebersamaan itu kembali ada, bahkan kebersaman yang jauh lebih indah. Karena surga tak mengenal kesengsaraan. Ia hanya mengenal kebahagiaan dan kenikmatan.

Adalah orang tua menjadi kendali ke mana keluarganya akan dibawa. Sang ayah sebagai pemimpin pelayaran. Ia menjadi nahkoda untuk mengantarkan keluarganya utuh menuju surga. Apabila baik akhlaknya maka baik pula cara mengemudikannya. Isteri dan anak adalah manusia-manusia yang dipimpinnya. Karena itu, butuh kepemimpinan dan kreativitas seorang ayah untuk mengkondisikan keimanan keluarganya.

Zaman sekarang, berapa banyak orang tua yang menyepelekan pendidikan spiritual untuk anak-anaknya. Padahal, iman bukanlah permainan dan kesalihan tidak dapat diwariskan. Ia adalah sesuatu yang tumbuh seiring dengan ketaatan. Bukan dalam sekejap, tapi butuh keistiQomahan. Seringnya, ayah ibu lebih bangga akan prestasi akademik yang dicapai anak-anaknya. Namun jarang menaruh bangga akan prestasi ibadah dan amal sholeh yang mereka lakukan. Seakan, prestasi duniawi jauh lebih berharga dibanding prestasi akhirat mereka.

“Tidak seorangpun masuk surga karena amalnya. Ia bertanya, ”Demikian pulakah engkau wahai Rasulullah?” ”Ya, demikian pula denganku, kecuali jika Allah menganugerahiku rahmatNya” (H.R.Muslim)

Bukan meja makan yang mempu menyatukan satu keluarga setelah seharian dipisahkan oleh aktivitas masing-masing. Bukan pula agenda nonton TV bersama yang mengundang canda dan tawa pencair suasana. Tapi adalah shalat berjamaah yang menyatukan kasih sayang mereka untuk sama-sama meraih rahmat-Nya.

Anak adalah masa depan, titipan Allah hingga keturunan akhir zaman. Dan keteladanan adalah bahasa indah pendidikan. Karena itu, agar tidak terasa berat ketika mengkondisikan keimanan dan keistiQomahan keluarga, maka harus ditunjang dengan keimanan dan keistiqomahan sang ayah sendiri. Ajak diri untuk merenung, motivasi apa yang sanggup membuat kita bertahan ada di jalan hidayah ini. Agar tidak lelah berlari dan enggan berhenti. Tidak merasa rugi, karena ada surga Allah yang menanti

No comments:

Post a Comment