Sunday, March 25, 2012

Rusaknya Agama Karena Tamak

Dari putra Ka’b bin Malik dari ayahnya, ia berkata bahwa Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda:

مَا ذِئْبَانِ جَائِعَانِ أُرْسِلَا فِي غَنَمٍ بِأَفْسَدَ لَهَا مِنْ حِرْصِ الرَّجُلِ عَلَى الْمَالِ وَالشَّرَفِ لِدِينِهِ

“Tidaklah dua ekor serigala lapar yang dilepaskan dalam sekawanan kambing lebih merusak terhadapnya daripada merusaknya ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan terhadap agamanya.” (Shahih, HR. Ahmad, At-Tirmidzi, An-Nasa’i, dan Ibnu Hibban. Lihat Shahih At-Targhib Wat Tarhib no. 1710)


Ibnu Rajab Al-Hambali rahimahullahu berkata:

“Ini sebuah perumpamaan yang agung sekali. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam sebutkan sebagai perumpamaan rusaknya agama seorang muslim karena ambisinya terhadap harta dan kedudukan di dunia. Juga bahwa rusaknya agama karena hal tersebut tidak lebih ringan dari hancurnya sekawanan kambing karena serangan dua ekor serigala pemangsa yang lapar di malam hari saat penggembala tidak menjaganya. Kedua serigala itu memangsa kambing tersebut dan memakannya.

Seperti diketahui, tidak akan ada yang selamat dari sergapan serigala tersebut dalam kondisi seperti ini kecuali sedikit. Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam pun memberitakan bahwa ambisi seseorang terhadap harta dan kedudukan merusak agamanya di mana ini tidak lebih ringan dari perusakan serigala tersebut terhadap sekawanan kambing itu, bahkan mungkin sama atau lebih parah.

Beliau Shallallahu ‘alaihi wa sallam ingin mengisyaratkan bahwa agama seorang muslim tidak akan selamat bila dia berambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia ini kecuali sedikit (dari agamanya), sebagaimana kambing-kambing tersebut tidak selamat dari sergapan serigala melainkan sedikit. Dengan demikian, perumpamaan ini mengandung peringatan keras dari kejahatan ambisi terhadap harta dan kedudukan di dunia.

>> Ambisi terhadap harta ada dua macam:

*Pertama
sangat cinta harta dan sangat berupaya mencarinya dari jalan-jalannya yang mubah serta berlebihan dalam mencarinya. Sangat serius dalam memperolehnya dari berbagai jalannya dengan getol dan bersusah payah.

Terdapat dalam sebagian riwayat bahwa sebab munculnya hadits ini adalah jatuhnya sebagian orang ke dalam jenis ini
Bila dalam ambisi harta benda tidak ada efek kecuali sekadar menyia-nyiakan umur yang mulia yang (membuatnya) tidak berharga –padahal semestinya dapat ia gunakan untuk memperoleh derajat yang tinggi dan kenikmatan yang kekal.

Namun dia sia-siakan dengan ambisinya dalam mencari rezeki, yang (sebenarnya) telah Allah Subhanahu wa Ta’ala jamin dan Allah Subhanahu wa Ta’ala bagi-bagi. Padahal seseorang tidak mendapatkannya melainkan sesuai dengan apa yang telah Allah Subhanahu wa Ta’ala tentukan untuknya, lantas ia sendiri tidak memanfaatkannya bahkan meninggalkannya untuk orang lain, berpisah dengannya, tinggal perhitungannya ia tanggung sedang manfaatnya untuk orang lain– cukuplah ini sebagai cela bagi seorang yang ambisius. Seorang yang berambisi menyia-nyiakan waktunya yang mulia dan berspekulasi dengan dirinya.

Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu berkata:
“Yakin adalah engkau tidak mencari ridha manusia dengan mengakibatkan murka Allah Subhanahu wa Ta’ala, dan engkau tidak iri kepada seorang pun karena rezeki yang Allah Subhanahu wa Ta’ala karuniakan kepadanya, engkau tidak mencela seorang pun atas apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala belum berikan kepadamu.

Karena sesungguhnya rezeki Allah Subhanahu wa Ta’ala itu tidak dapat digiring oleh ambisi seseorang. Tidak pula dapat ditolak oleh kebencian seseorang. Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala–dengan keadilan-Nya– menjadikan ketenangan dan kebahagiaannya pada keyakinan dan keridhaan. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga menjadikan kegundahan dan kesedihannya pada keraguan dan kemarahan…

*Kedua,
ambisi terhadap harta lebih dari apa yang disebutkan pada macam yang pertama. Sehingga dia mencari harta dari jalan-jalan yang haram dan tidak menunaikan hak yang wajib.

Ini termasuk syuh (ambisi) yang tercela.

Allah Subhanahu wa Ta’ala berfirman:

وَمَنْ يُوقَ شُحَّ نَفْسِهِ فَأُولَئِكَ هُمُ الْمُفْلِحُونَ

“Dan siapa yang dipelihara dari syuh (kekikiran) dirinya, mereka itulah orang-orang yang beruntung.” (Al-Hasyr: 9)

Dalam Sunan Abu Dawud dari Abdullah bin Umar radhiyallahu ‘anhuma, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، أَمَرَهُمْ بِالْقَطِيعَةِ فَقَطَعُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْبُخْلِ فَبَخِلُوا وَأَمَرَهُمْ بِالْفُجُورِ فَفَجَرُوا

“Berhati-hatilah kalian dari syuh (ambisi), karena hal itu menghancurkan orang yang sebelum kalian. Memerintahkan mereka untuk memutus hubungan silaturrahmi, maka mereka memutusnya. Memerintahkan mereka untuk tidak berinfak, mereka pun tidak berinfak. Memerintahkan mereka untuk berbuat jahat, mereka pun berbuat jahat.”

Dalam Shahih Muslim dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam, beliau bersabda:

اتَّقُوا الشُّحَّ فَإِنَّ الشُّحَّ أَهْلَكَ مَنْ كَانَ قَبْلَكُمْ، حَمَلَهُمْ عَلَى أَنْ سَفَكُوا دِمَاءَهُمْ وَاسْتَحَلُّوا مَحَارِمَهُمْ

“Berhati-hatilah kalian dari syuh, karena hal itu telah membuat binasa orang-orang sebelum kalian, membuat mereka menumpahkan darah, dan menghalalkan sesuatu yang diharamkan atas mereka.”

Sekelompok ulama mengatakan:
“Syuh berarti ambisi besar yang membuat penyandangnya mengambil sesuatu yang tidak halal dan tidak mau menunaikan hak yang wajib. Hakikatnya adalah jiwanya sangat merindukan apa yang diharamkan Allah Subhanahu wa Ta’ala dan dia dilarang darinya, serta seseorang tidak merasa puas dengan apa yang Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan berupa harta, kebutuhan nikahnya, ataupun selainnya.”

Sesungguhnya Allah Subhanahu wa Ta’ala telah halalkan untuk kita hal-hal yang baik dari makanan, minuman, atau pakaian, serta kebutuhan nikah. Allah Subhanahu wa Ta’ala haramkan memanfaatkan itu semua tanpa melalui jalurnya yang halal.

Allah Subhanahu wa Ta’ala halalkan untuk memerangi orang-orang kafir yang memerangi serta menghalalkan harta mereka. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga mengharamkan hal-hal yang jelek selain itu dari makanan, minuman, pakaian, dan kebutuhan nikah. Allah Subhanahu wa Ta’ala juga haramkan atas kita untuk menumpahkan darah tanpa alasan yang benar.

Barangsiapa membatasi diri pada apa yang dihalalkan maka dia adalah seorang mukmin. Sedangkan barangsiapa yang melampaui (batas) kepada yang dilarang maka ini yang disebut syuh yang tercela, dan ini bertentangan dengan iman. Oleh karenanya, Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam memberitakan bahwa syuh itu memerintahkan kepada pemutusan hubungan silaturrahmi, kejahatan, dan kebakhilan.

Kebakhilan itu sendiri bermakna seseorang menahan apa yang ada di tangannya (tidak mau menginfakkannya). Adapun syuh bermakna mengambil sesuatu yang bukan miliknya dengan cara yang zalim dan permusuhan, baik itu harta atau yang lainnya. Sampai-sampai disebut bahwa syuh itu merupakan pokok segala maksiat.

Dengan makna inilah, Ibnu Mas’ud radhiyallahu ‘anhu dan ulama salaf yang lainnya menafsirkan kata syuh dan kebakhilan. Dari sinilah kita mengetahui makna hadits Abu Hurairah radhiyallahu ‘anhu, dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:

“Tidak akan berkumpul antara syuh dan iman dalam qalbu seorang mukmin.”
Juga hadits yang lain dari Nabi Shallallahu ‘alaihi wa sallam:
“Sebaik-baik iman adalah kesabaran dan samahah.”

Kesabaran tersebut ditafsirkan dengan sabar menahan diri dari hal-hal yang diharamkan. Sedangkan samahah di sini ditafsirkan dengan menunaikan kewajiban.

Terkadang kata syuh juga berarti kebakhilan atau sebaliknya. Akan tetapi pada asalnya adalah berbeda antara keduanya sesuai dengan yang kami sebutkan. Ketika ambisi kepada harta itu sampai kepada derajat semacam ini, maka dengan ini agama seseorang akan dengan nyata terkurangi. Karena ia tidak melaksanakan kewajiban dan melakukan yang haram, yang menyebabkan menurunnya agama seseorang tanpa diragukan sehingga tidak tersisa lagi kecuali sedikit. (Syarh Hadits Ma Dzi’bani Ja’i’ani)

No comments:

Post a Comment