Terkadang sugesti anak kecil bisa membunuh kerasnya hati seseorang. Kenapa bisa demikian? Mungkin kita juga pernah melihat contoh seperti demikian. Misalnya seorang ayah yang sehari-hari gak shalat, tetapi anaknya belajar shalat di sekolah atau madrasah. Saat anaknya bertanya, bisa jadi hatinya telah terbuka "Ayah gak shalat?" JLEBB..!!!!
Seberapa pun kerasnya hati pasti suatu saat luluh juga. Pernah seorang preman pasar yang ditakuti orang-orang bisa menangis saat mendengar sebuah lagu batak (ntah judulnya apa, saya lupa :-) ). Tetapi memang lagunya lagu sedih. Kami mau tertawa saat itu, lucu melihat seseorang yg gak pernah tersenyum bisa menangis gara-gara sebuah lagu, tapi gak berani tertawa karena takut dipukul. Hehehe
Atau saat pertama bertemu si kecil Andre. Pertama dia melihat seperti ketakutan melihat saya, "Bu, Om ini siapa?"
Tantenya (teman saya, ponakannya selalu manggil "ibu" ama tantenya) menjawab: "Ini Om Ustadz"
"Hah??!!!", sejak kapan saya jadi ustadz? dari kecil sampai jenggotan gini saya selalu di sekolah formal, malah cenderung bandel, belajar agama jg bukan di pesantren, hanya dari internet & ustadz-ustadz yang saya temui di Mesjid. Hanya karena jenggot saya sehingga dipanggil ustadz.
Makin lemas lagi saat Andre bilang "Bu, ntar kalau besar Andre mau jd Ustadz seperti Om ini"
spechless... merokok pun saya tak berani di depan Andre.\
Tetapi anak kecil tetaplah anak kecil, dengan segala tingkah laku & keluguan mereka. Kita yang dewasa ini yang harusnya bisa membimbing mereka agar tidak terlarut dalam trend dunia yang makin parah, karena mungkin kita tidak sadar, kalau kita pun bisa mengambil pelajaran dari mereka. Disamping kita juga harus memberi contoh yang baik kepada mereka. Tentunya sesuai dengan ajaran agama islam. Jangan penuhi hati & pikiran mereka dengan standar duniawi.
Saat mereka besar nanti, mereka akan pahami dunia, tetapi fondasi agama yang kuat akan menyelamatkan mereka.
Teringat zaman kost dulu, seorang anak kecil ditanya cita-citanya apa?
"ingin jadi sahabat..!!!"
Lugas & tegas.
Sungguh orangtua-nya sudah mendidik-nya dengan baik.
Apakah kelak kita akan seperti itu juga?
Mari kita renungkan wahai sahabat, buka hati kita, sejenak tutup telinga dari cercaan dunia, tutup mata dari pandangan sinis dunia.
Letakkan dunia di tanganmu, bukan di hatimu.
baiknya kita menyampaikan yang baik, berkata yang baik, menulis yang baik, dan komentar yang baik.
Friday, September 13, 2013
Friday, September 6, 2013
Miskin Syukur
Pagi hari masih bisa beli nasi uduk, lengkap dengan bihun, tempe goreng atau semur jengkol sebenarnya sudah bagus. Tetapi kerap mulut berbicara lain, “Nasi uduk melulu, nggak ada makanan lain?” Akhirnya sampai sore sepiring nasi uduk itu tak disentuh sama sekali.
Sudah sepuluh tahun bekerja dan punya penghasilan tetap saja mengeluh, “Kerja begini-begini saja, nggak ada perubahan, gaji sebulan habis seminggu…” Belum lagi `nyanyian’ isteri di rumah, “cari kerja tambahan dong pak, biar hidup kita nggak susah terus”
Dikaruniai isteri yang shaleh dan baik masih menggerutu, “baik sih, rajin sholat, tapi kurang cantik…” Tidak beda dengan seorang perempuan yang menikah dengan pria bertampang pas-pasan, “Sudah miskin nggak ganteng pula. Masih untung saya mau nikah sama dia…”
Punya kesempatan memiliki rumah meski hanya type kecil dan rumah sangat sederhana tentu lebih baik dari sekian orang yang baru bisa mimpi punya rumah sendiri. Disaat yang lain masih ngontrak dan nomaden, mulut ini berceloteh, “Ya rumah sempit, gerah, sesak. Sebenarnya sih nggak betah, tapi mau dimana lagi?”
Sudah bagus suaminya tidak naik angkot atau bis kota berkali-kali karena memiliki sepeda motor walau keluaran tahun lama. Eh, bisa-bisanya sang isteri berkomentar, “Jual saja pak, saya malu kalau diboncengin pakai motor butut itu”.
Ada lagi yang dikaruniai anak, sudah bagus anaknya terlahir normal, tidak cacat fisik maupun mental. Gara-gara anaknya kurang cantik atau tidak tampan, ia mencari kambing hitam, “Bapak salah milih ibu nih, jadinya wajah kamu nggak karuan begini”. Padahal di waktu yang berbeda, ibunya pun berkata yang hampir mirip, “Maaf ya nak, waktu itu ibu terpaksa menikahi bapakmu. Habis, kasihan dia nggak ada yang naksir”.
Kita, termasuk saya, tanpa disadari sudah menjadi orang-orang miskin. Bukan karena kita tidak memiliki apa-apa, justru sebaliknya kita tengah berlimpah harta dan memiliki sesuatu yang orang lain belum berkesempatan memilikinya. Kita benar-benar miskin meski dalam keadaan kaya raya, karena kita tak pernah bersyukur dengan apa yang dianugerahkan Allah saat ini. Ya, kita ini miskin rasa syukur.
Punya sedikit ingin banyak, boleh. Dapat satu, ingin dua, tidak dilarang. Merasa kurang dan mau lebih, silahkan. Tidak masalah kok kalau merasa kurang, sebab memang demikian sifat manusia, tidak pernah merasa puas. Pertanyaannya, yang sedikit, yang satu, yang kurang itu sudah disyukuri kah?
Pada rasa syukur itulah letak kekayaan sebenarnya. Berangkat dari rasa syukur pula kita merasa kaya, sehingga melahirkan keinginan membagi apa yang dipunya kepada orang lain. Kita miskin karena tidak pernah mensyukuri apa yang ada. Meski dunia berada di genggaman namun kalau tak sedikit pun rasa syukur terukir di hati dan terucap di lisan, selamanya kita miskin.
Coba hitung, duduk di teras rumah sambil sarapan pagi, ditambah secangkir kopi panas yang disediakan isteri shalihah. Sesaat sebelum berangkat ke kantor menggunakan sepeda motor, lambaian tangan si kecil seraya mendoakan, “hati-hati Ayah…”. Subhanallah, ternyata Anda kaya raya! (gaw)
(warnaislam.com)
***
Tuesday, September 3, 2013
Bali......
nyampe di bandara Soetta masih sempat kerja... hadeeeh
akhirnya tiba di bandara Ngurah Rai Bali
penampakan meja hotel
The Stones Hotel Room 269
cuaca Kuta
Sebuah Kisah Cinta Sejati Untuk Anda Semua
Seorang pria dan kekasihnya menikah dan acaranya pernikahannya sungguh megah. Semua kawan-kawan dan keluarga mereka hadir menyaksikan dan menikmati hari yang berbahagia tersebut.
Suatu acara yang luar biasa mengesankan. Mempelai wanita begitu anggun dalam gaun putihnya dan pengantin pria dalam tuxedo hitam yang gagah. Setiap pasang mata yang memandang setuju mengatakan bahwa mereka sungguh-sungguh saling mencintai.
Beberapa bulan kemudian, sang istri berkata kepada suaminya, “Sayang, aku baru membaca sebuah artikel di majalah tentang bagaimana memperkuat tali pernikahan” katanya sambil menyodorkan majalah tersebut.
“Masing-masing kita akan mencatat hal-hal yang kurang kita sukai dari pasangan kita. Kemudian, kita akan membahas bagaimana merubah hal-hal tersebut dan membuat hidup pernikahan kita bersama lebih bahagia…..”
Suaminya setuju dan mereka mulai memikirkan hal-hal dari pasangannya yang tidak mereka sukai dan berjanji tidak akan tersinggung ketika pasangannya mencatat hal-hal yang kurang baik sebab hal tersebut untuk kebaikkan mereka bersama.
Malam itu mereka sepakat untuk berpisah kamar dan mencatat apa yang terlintas dalam benak mereka masing-masing. Besok pagi ketika sarapan, mereka siap mendiskusikannya.
“Aku akan mulai duluan ya”, kata sang istri. Ia lalu mengeluarkan daftarnya. Banyak sekali yang ditulisnya, sekitar 3 halaman.
Ketika ia mulai membacakan satu persatu hal yang tidak dia sukai dari suaminya, ia memperhatikan bahwa air mata suaminya mulai mengalir.
“Maaf, apakah aku harus berhenti ?” tanyanya.
“Oh tidak, lanjutkan…” jawab suaminya.
Lalu sang istri melanjutkan membacakan semua yang terdaftar, lalu kembali melipat kertasnya dengan manis di atas meja dan berkata dengan bahagia.
“Sekarang gantian ya, engkau yang membacakan daftarmu”.
Dengan suara perlahan suaminya berkata “Aku tidak mencatat sesuatupun di kertasku. Aku berpikir bahwa engkau sudah sempurna, dan aku tidak ingin merubahmu.
Engkau adalah dirimu sendiri. Engkau cantik dan baik bagiku. Tidak satupun dari pribadimu yang kudapatkan kurang…. “
Sang istri tersentak dan tersentuh oleh pernyataan dan ungkapan cinta serta isi hati suaminya. Bahwa suaminya menerimanya apa adanya…
Ia menunduk dan menangis…..
Dalam hidup ini, banyak kali kita merasa dikecewakan, depressi, dan sakit hati. Sesungguhnya takperlu menghabiskan waktu memikirkan hal-hal tersebut.
Hidup ini penuh dengan keindahan, kesukacitaan dan pengharapan. Mengapa harus menghabiskan waktu memikirkan sisi yang buruk,mengecewakan dan menyakitkan jika kita bisa menemukan banyak hal-hal yang indah di sekeliling kita ?
Saya percaya kita akan menjadi orang yang berbahagia jika kita mampu melihat dan bersyukur untuk hal-hal yang baik dan mencoba melupakan yang buruk.
***
Diterjemahkan dari tulisan : Trevor Klein.
“Sukses tidak harus berarti banyak UANG. Menjadi orang BAIK juga itu termasuk SUKSES”
Sandal Jepit Isteriku
“Ummi… Ummi, kapan kamu dapat memasak dengan benar? Selalu saja, kalau tak keasinan, kemanisan, kalau tak keaseman, ya kepedesan!” Ya, aku tak bisa menahan emosi untuk tak menggerutu.
“Sabar Bi, Rasulullah juga sabar terhadap masakan Aisyah dan Khodijah. Katanya mau kayak Rasul? Ucap isteriku kalem.
“Iya. Tapi Abi kan manusia biasa. Abi belum bisa sabar seperti Rasul. Abi tak tahan kalau makan terus menerus seperti ini!” Jawabku masih dengan nada tinggi.
Mendengar ucapanku yang bernada emosi, kulihat isteriku menundukkan kepala dalam-dalam. Kalau sudah begitu, aku yakin pasti air matanya merebak.
***
Sepekan sudah aku ke luar kota. Dan tentu, ketika pulang benak ini penuh dengan jumput-jumput harapan untuk menemukan baiti jannati di rumahku. Namun apa yang terjadi? Ternyata kenyataan tak sesuai dengan apa yang kuimpikan. Sesampainya di rumah, kepalaku malah mumet tujuh keliling. Bayangkan saja, rumah kontrakanku tak ubahnya laksana kapal pecah. Pakaian bersih yang belum disetrika menggunung di sana sini. Piring-piring kotor berpesta-pora di dapur, dan cucian, wouw! berember-ember. Ditambah lagi aroma bau busuknya yang menyengat, karena berhari-hari direndam dengan deterjen tapi tak juga dicuci. Melihat keadaan seperti ini aku cuma bisa beristigfar sambil mengurut dada.
“Ummi… Ummi, bagaimana Abi tak selalu kesal kalau keadaan terus menerus begini?” ucapku sambil menggeleng-gelengkan kepala. “Ummi… isteri sholihah itu tak hanya pandai ngisi pengajian, tapi dia juga harus pandai dalam mengatur tetek bengek urusan rumah tangga. Harus bisa masak, nyetrika, nyuci, jahit baju, beresin rumah?”
Belum sempat kata-kataku habis sudah terdengar ledakan tangis isteriku yang kelihatan begitu pilu. “Ah… wanita gampang sekali untuk menangis,” batinku. “Sudah diam Mi, tak boleh cengeng. Katanya mau jadi isteri shalihah? Isteri shalihah itu tidak cengeng,” bujukku hati-hati setelah melihat air matanya menganak sungai.
“Gimana nggak nangis! Baru juga pulang sudah ngomel-ngomel terus. Rumah ini berantakan karena memang Ummi tak bisa mengerjakan apa-apa. Jangankan untuk kerja, jalan saja susah. Ummi kan muntah-muntah terus, ini badan rasanya tak bertenaga sama sekali,” ucap isteriku diselingi isak tangis. “Abi nggak ngerasain sih bagaimana maboknya orang yang hamil muda…” Ucap isteriku lagi, sementara air matanya kulihat tetap merebak.
Hamil muda?!?!
***
Bi…, siang nanti antar Ummi ngaji ya…?” pinta isteriku.
“Aduh, Mi… Abi kan sibuk sekali hari ini. Berangkat sendiri saja ya?” ucapku.
“Ya sudah, kalau Abi sibuk, Ummi naik bis umum saja, mudah-mudahan nggak pingsan di jalan,” jawab isteriku.
“Lho, kok bilang gitu…?” selaku.
“Iya, dalam kondisi muntah-muntah seperti ini kepala Ummi gampang pusing kalau mencium bau bensin. Apalagi ditambah berdesak-desakan dalam dengan suasana panas menyengat. Tapi mudah-mudahan sih nggak kenapa-kenapa,” ucap isteriku lagi.
“Ya sudah, kalau begitu naik bajaj saja,” jawabku ringan.
Pertemuan hari ini ternyata diundur pekan depan. Kesempatan waktu luang ini kugunakan untuk menjemput isteriku. Entah kenapa hati ini tiba-tiba saja menjadi rindu padanya. Motorku sudah sampai di tempat isteriku mengaji. Di depan pintu kulihat masih banyak sepatu berjajar, ini pertanda acara belum selesai. Kuperhatikan sepatu yang berjumlah delapan pasang itu satu persatu. Ah, semuanya indah-indah dan kelihatan harganya begitu mahal.”Wanita, memang suka yang indah-indah, sampai bentuk sepatu pun lucu-lucu,” aku membathin. Mataku tiba-tiba terantuk pandang pada sebuah sendal jepit yang diapit sepasang sepatu indah.
Dug! Hati ini menjadi luruh.
“Oh….bukankah ini sandal jepit isteriku?” tanya hatiku. Lalu segera kuambil sandal jepit kumal yang tertindih sepatu indah itu. Tes! Air mataku jatuh tanpa terasa. Perih nian rasanya hati ini, kenapa baru sekarang sadar bahwa aku tak pernah memperhatikan isteriku. Sampai-sampai kemana ia pergi harus bersandal jepit kumal. Sementara teman-temannnya bersepatu bagus.
“Maafkan aku Maryam,” pinta hatiku.
“Krek…,” suara pintu terdengar dibuka. Aku terlonjak, lantas menyelinap ke tembok samping. Kulihat dua ukhti berjalan melintas sambil menggendong bocah mungil yang berjilbab indah dan cerah, secerah warna baju dan jilbab umminya. Beberapa menit setelah kepergian dua ukhti itu, kembali melintas ukhti-ukhti yang lain. Namun, belum juga kutemukan Maryamku. Aku menghitung sudah delapan orang keluar dari rumah itu, tapi isteriku belum juga keluar. Penantianku berakhir ketika sesosok tubuh berabaya gelap dan berjilbab hitam melintas. “Ini dia mujahidahku!” pekik hatiku. Ia beda dengan yang lain, ia begitu bersahaja. Kalau yang lain memakai baju berbunga cerah indah, ia hanya memakai baju warna gelap yang sudah lusuh pula warnanya. Diam-diam hatiku kembali dirayapi perasaan berdosa karena selama ini kurang memperhatikan isteri.
Ya, aku baru sadar, bahwa semenjak menikah belum pernah membelikan sepotong baju pun untuknya. Aku terlalu sibuk memperhatikan kekurangan-kekurangan isteriku, padahal di balik semua itu begitu banyak kelebihanmu, wahai Maryamku. Aku benar-benar menjadi malu pada Allah dan Rasul-Nya. Selama ini aku terlalu sibuk mengurus orang lain, sedang isteriku tak pernah kuurusi. Padahal Rasul telah berkata: “Yang terbaik di antara kamu adalah yang paling baik terhadap keluarganya.”
Sedang aku? Ah, kenapa pula aku lupa bahwa Allah menyuruh para suami agar menggauli isterinya dengan baik. Sedang aku terlalu sering ngomel dan menuntut isteri dengan sesuatu yang ia tak dapat melakukannya. Aku benar-benar merasa menjadi suami terzalim!
“Maryam…!” panggilku, ketika tubuh berabaya gelap itu melintas. Tubuh itu lantas berbalik ke arahku, pandangan matanya menunjukkan ketidakpercayaan atas kehadiranku di tempat ini. Namun, kemudian terlihat perlahan bibirnya mengembangkan senyum. Senyum bahagia.
“Abi…!” bisiknya pelan dan girang. Sungguh, aku baru melihat isteriku segirang ini.
“Ah, kenapa tidak dari dulu kulakukan menjemput isteri?” sesal hatiku.
***
Esoknya aku membeli sepasang sepatu untuk isteriku. Ketika tahu hal itu, senyum bahagia kembali mengembang dari bibirnya. “Alhamdulillah, jazakallahu…,”ucapnya dengan suara tulus.
Ah, Maryam, lagi-lagi hatiku terenyuh melihat polahmu. Lagi-lagi sesal menyerbu hatiku. Kenapa baru sekarang aku bisa bersyukur memperoleh isteri zuhud dan ‘iffah sepertimu? Kenapa baru sekarang pula kutahu betapa nikmatnya menyaksikan matamu yang berbinar-binar karena perhatianku?
***
Dari Sahabat
Ibu, I Miss You So Much
Oleh: Jamil Azzaini – Kubik Leadership
Jakarta, Hukum kekekalan energi dan semua agama menjelaskan bahwa apapun yang kita lakukan pasti akan dibalas sempurna kepada kita. Apabila kita melakukan energi positif atau kebaikan maka kita akan mendapat balasan berupa kebaikan pula. Begitu pula bila kita melakukan energi negatif atau keburukan maka kitapun akan mendapat balasan berupa keburukan pula. Kali ini izinkan saya menceritakan sebuah pengalaman pribadi yang terjadi pada 2003.
Pada September-Oktober 2003 isteri saya terbaring di salah satu rumah sakit di Jakarta. Sudah tiga pekan para dokter belum mampu mendeteksi penyakit yang diidapnya. Dia sedang hamil 8 bulan. Panasnya sangat tinggi. Bahkan sudah satu pekan isteri saya telah terbujur di ruang ICU. Sekujur tubuhnya ditempeli kabel-kabel yang tersambung ke sebuah layar monitor.
Suatu pagi saya dipanggil oleh dokter yang merawat isteri saya. Dokter berkata, “Pak Jamil, kami mohon izin untuk mengganti obat ibu”. Sayapun menjawab “Mengapa dokter meminta izin saya? Bukankan setiap pagi saya membeli berbagai macam obat di apotek dokter tidak meminta izin saya” Dokter itu menjawab “Karena obat yang ini mahal Pak Jamil.” “Memang harganya berapa dok?” Tanya saya. Dokter itu dengan mantap menjawab “Dua belas juta rupiah sekali suntik.” “Haahh 12 juta rupiah dok, lantas sehari berapa kali suntik, dok? Dokter itu menjawab, “Sehari tiga kali suntik pak Jamil”.
Setelah menarik napas panjang saya berkata, “Berarti satu hari tiga puluh enam juta, dok?” Saat itu butiran air bening mengalir di pipi. Dengan suara bergetar saya berkata, “Dokter tolong usahakan sekali lagi mencari penyakit isteriku, sementara saya akan berdoa kepada Yang Maha Kuasa agar penyakit istri saya segera ditemukan.” “Pak Jamil kami sudah berusaha semampu kami bahkan kami telah meminta bantuan berbagai laboratorium dan penyakit istri Bapak tidak bisa kami deteksi secara tepat, kami harus sangat hati-hati memberi obat karena istri Bapak juga sedang hamil 8 bulan, baiklah kami akan coba satu kali lagi tapi kalau tidak ditemukan kami harus mengganti obatnya, pak.” jawab dokter.
Setelah percakapan itu usai, saya pergi menuju mushola kecil dekat ruang ICU Saya melakukan sembahyang dan saya berdoa, “Ya Allah Ya Tuhanku… aku mengerti bahwa Engkau pasti akan menguji semua hamba-Mu, akupun mengerti bahwa setiap kebaikan yang aku lakukan pasti akan Engkau balas dan akupun mengerti bahwa setiap keburukan yang pernah aku lakukan juga akan Engkau balas. Ya Tuhanku… gerangan keburukan apa yang pernah aku lakukan sehingga Engkau uji aku dengan sakit isteriku yang berkepanjangan, tabunganku telah terkuras, tenaga dan pikiranku begitu lelah. Berikan aku petunjuk Ya Tuhanku Engkau Maha Tahu bahkan Engkau mengetahui setiap guratan urat di leher nyamuk. Dan Engkaupun mengetahui hal yang kecil dari itu. Aku pasrah kepada Mu Ya Tuhanku. Sembuhkanlah istriku. Bagimu amat mudah menyembuhkan istriku, semudah Engkau mengatur milyaran planet di jagat raya ini.”
Ketika saya sedang berdoa itu tiba-tiba terbersit dalam ingatan akan kejadian puluhan tahun yang lalu. Ketika itu, saya hidup dalam keluarga yang miskin papa. Sudah tiga bulan saya belum membayar biaya sekolah yang hanya Rp. 25 per bulan. Akhirnya saya memberanikan diri mencuri uang ibu saya yang hanya Rp. 125. Saya ambil uang itu, Rp 75 saya gunakan untuk mebayar SPP, sisanya saya gunakan untuk jajan.
Ketika ibu saya tahu bahwa uangnya hilang ia menangis sambil terbata berkata “Pokoknya yang ngambil uangku kualat… yang ngambil uangku kualat…” Uang itu sebenarnya akan digunakan membayar hutang oleh ibuku. Melihat hal itu saya hanya terdiam dan tak berani mengaku bahwa sayalah yang mengambil uang itu.
Usai berdoa saya merenung, “Jangan-jangan inilah hukum alam dan ketentuan Yang Maha Kuasa bahwa bila saya berbuat keburukan maka saya akan memperoleh keburukan. Dan keburukan yang saya terima adalah penyakit isteri saya ini karena saya pernah menyakiti ibu saya dengan mengambil uang yang ia miliki itu.” Setelah menarik nafas panjang saya tekan nomor telepon rumah dimana ibu saya ada di rumah menemani tiga buah hati saya. Setelah salam dan menanyakan kondisi anak-anak di rumah, maka saya bertanya kepada ibu saya Bu, apakah ibu ingat ketika ibu kehilangan uang sebayak seratus dua puluh lima rupiah beberapa puluh tahun yang lalu?”
“Sampai kapanpun ibu ingat Mil. Kualat yang ngambil duit itu Mil, duit itu sangat ibu perlukan untuk membayar hutang, kok ya tega-teganya ada yang ngambil,” jawab ibu saya dari balik telepon. Mendengar jawaban itu saya menutup mata perlahan, butiran air mata mengalir di pipi.
Sambil terbata saya berkata, “Ibu, maafkan saya… yang ngambil uang itu saya, bu… saya minta maaf sama ibu. Saya minta maaaaf… saat nanti ketemu saya akan sungkem sama ibu, saya jahat telah tega sama ibu.” Suasana hening sejenak. Tidak berapa lama kemudian dari balik telepon saya dengar ibu saya berkata: “Ya Tuhan pernyataanku aku cabut, yang ngambil uangku tidak kualat, aku maafkan dia. Ternyata yang ngambil adalah anak laki-lakiku. Jamil kamu nggak usah pikirin dan doakan saja isterimu agar cepat sembuh.” Setelah memastikan bahwa ibu saya telah memaafkan saya, maka saya akhiri percakapan dengan memohon doa darinya.
Kurang lebih pukul 12.45 saya dipanggil dokter, setibanya di ruangan sambil mengulurkan tangan kepada saya sang dokter berkata “Selamat pak, penyakit isteri bapak sudah ditemukan, infeksi pankreas. Ibu telah kami obati dan panasnya telah turun, setelah ini kami akan operasi untuk mengeluarkan bayi dari perut ibu.” Bulu kuduk saya merinding mendengarnya, sambil menjabat erat tangan sang dokter saya berkata. “Terima kasih dokter, semoga Tuhan membalas semua kebaikan dokter.”
Saya meninggalkan ruangan dokter itu…. dengan berbisik pada diri sendiri Ibu, I miss you so much.”
***
Keterangan Penulis:
Jamil Azzaini adalah Senior Trainer dan penulis buku Best Seller KUBIK LEADERSHIP; Solusi Esensial Meraih Sukses dan Kemuliaan Hidup.
Ujian Cinta di Geger Kalong
Oleh Bahtiar HS
“Pak Herman, gimana nih, Pak?”
Pak Suherman Rosyidi, dosen Fakultas Ekonomi Unair yang tetangga saya itu menoleh kepada asal suara. Dua orang sekretaris Dekan menegurnya di pintu masuk ruang itu. Keduanya perempuan. Seorang, sebut saja Bu A sudah memiliki 3 orang anak. Dan Bu B sudah menikah tetapi belum dikaruniai anak.
“Gimana apanya, Bu?” tanya Pak Herman pada mereka.
“Gimana kok Aa’ Gym menikah lagi, Pak?” keluh Bu A. “Kenapa mesti poligami?”
Pak Herman tersenyum. Kalau ada masalah-masalah seperti ini, anggota Dewan Ekonomi Syariah itu memang biasa menjadi “jujugan”. Tempat bertanya atau mengadu. Beliau kemudian menghampiri kedua ibu muda itu.
“Begini, Bu,” kata Pak Herman. “Coba jawab pertanyaan saya dengan jujur dan ikhlas, dari hati nurani ibu yang paling dalam.”
“Apa itu, Pak?” sergah Bu B.
“Tolong pilih satu di antara dua,” kata Pak Herman berteka-teki. “Kalau ibu disuruh memilih, antara: merelakan suami ibu menikah lagi atau merelakan suami ibu melacur, ibu pilih yang mana?”
Kedua wanita itu terperanjat seperti mendapatkan pertanyaan yang tak pernah didengar sekalipun selama hidupnya.
”Kok pertanyaannya seperti itu, Pak?” protes Ibu A.
“Saya tak memilih dua-duanya, Pak!” tegas Ibu B.
“Ok. Ok,” potong Pak Herman. “Jikalau pertanyaan itu terlalu berat untuk dijawab, pertanyaannya saya ganti.”
“Diganti gimana, Pak?”
“Saya ganti begini,” lanjut Pak Herman. “Jikalau ada seorang isteri diberikan pilihan — bukan Anda berdua, lho? — yaitu merelakan suaminya menikah lagi atau merelakan suaminya melacur, kira-kira isteri itu milih yang mana?”
Kedua ibu itu saling berpandangan. Keraguan segera merayap dalam senyap. Pak Herman sendiri dengan sabar menunggu. Dan dalam sepuluh-lima belas detik kemudian, seseorang menjawab.
“Ya, pilih suami menikah lagi, Pak?” kata Bu A sambil melirik, mengharap dukungan Bu B di sebelahnya. “Bukan begitu, Bu?”
Bu B mengangguk-angguk. “Ya, gimana lagi kalau pilihannya hanya itu.”
“Alhamdulillah,” jawab Pak Herman. “Ibu-ibu ternyata masih bersih.”
“Masih bersih gimana, Pak?” tanya keduanya hampir berbarengan.
“Ibu-ibu masih bersih,” jelas dosen itu. “Masih bisa membedakan antara yang benar dan yang bathil. Antara yang halal dan yang haram.”
***
“Saya heran sama orang Indonesia, Pak Herman!” seru Bu Icy dengan logat Amerikanya yang tak bisa dihilangkan.
“Heran gimana, Bu?” tanya Pak Herman pada temannya yang sesama dosen itu. Sudah berbilang tahun wanita itu mengajar di kampus ini sejak ia menikah dengan orang Indonesia asli.
“Mengapa mereka menolak poligami yang nyata-nyata ada dan dibolehkan di dalam Islam?” tanyanya sungguh.
Pak Herman sejenak tersentak. Bagaimanapun yang ada di hadapannya itu adalah wanita Barat. Bukan muslimat lagi. Ia penganut Kristen. “Menurut Ibu, apa yang menyebabkan mereka seperti itu?”
“Masalahnya sudah jelas, Pak Herman. Kalian, orang Indonesia, sudah terkontaminasi dengan apa yang datang dari Barat.”
“Apa itu?”
“Kapitalisme!”
“Kapitalisme?”
“Ya. Sebuah pandangan yang menganggap segala yang dipunya sebagai ‘milik’. Suami saya adalah milik saya. Bukan dan tak akan menjadi milik wanita lain. Tak logis dalam benak mereka untuk berbagi suami dengan orang lain. Itulah ruh kapitalisme, Pak.”
Pak Herman manggut-manggut. Tak dinyana, perempuan “barat” itu punya pendapat sedemikian. Ia memang telah banyak belajar tentang Islam, meski sayang belum memeluknya hingga sekarang.
“Sedangkan dalam pandangan Islam, semua yang ada ini ‘kan milik Tuhan?” lanjut wanita itu. “Sehingga, berbagi dalam Islam adalah sesuatu yang common-sense.” Pak Herman kemudian bertanya, “Lantas menurut Ibu, apa masalahnya dengan penolakan poligami?”
“Masalahnya, Pak, ketika pintu poligami ditutup,” kata wanita asing itu, “maka pintu pelacuran akan terbuka lebar-lebar.”
***
Itulah pengantar perbincangan seputar poligami oleh Ust. Suherman Rosyidi – kami memanggil beliau Pak Herman — di Masjid Rungkut Jaya Ahad pagi ini. Agaknya fenomena heboh Aa’ Gym yang menikah lagi itu turut menghangatkan beranda masjid ini setelah diguyur hujan semalam.
“Kalau saya baca press release Aa’ Gym awal Desember lalu,” kata saya turut menanggapi, “sebenarnya ada 4 calon yang diajukan Aa’ Gym sebagai isteri kedua. Satu, gadis. Kedua, janda tanpa anak. Ketiga, janda dengan cukup banyak anak. Dan keempat, nenek-nenek gampang masuk angin.”
Hadirin tersenyum. Saya berusaha menahan diri.
“Aa’ Gym sebenarnya sudah memilih yang ketiga, janda dengan cukup banyak anak,” kata saya melanjutkan. “Hanya saja, ia mantan model. Sebagaimana banyak laki-laki yang poligami, biasanya isteri keduanya adalah seorang gadis, lebih muda dan cantik ketimbang isteri pertama. Coba jika seandainya Aa’ Gym memilih calon yang keempat, pasti tidak akan terjadi kehebohan seperti ini, Pak!”
Gerr. Dan Ust. Herman pun tersenyum. “Tetapi, apa salahnya Aa’ Gym memilih janda dengan sekian anak?” tanyanya kepada hadirin seakan ingin mendapat jawaban. “Apa salahnya jika janda itu mantan model? Apa salahnya juga jika seandainya dia memilih seorang gadis sebagai isteri kedua?”
“Bukankah Rasul setelah Khadijah meninggal mengambil Saudah, seorang janda yang sudah sangat tua umurnya, menjadi isteri keduanya, Pak?” sergah saya.
“Apakah serta-merta kita harus mencontohnya demikian pula?” jawab Pak Herman.
“Juga apakah kita harus menunggu isteri pertama kita meninggal sebelum menikah lagi, sebagaimana Rasul baru menikah lagi setelah Khadijah meninggal?”
Saya termangu. Jamaah yang lain pun tepekur di tempat duduknya masing-masing.
“Tentu tidak,” lanjut Pak Herman. “Abu Bakar, Umar, Usman dan para sahabat yang lain tidak menunggu isteri pertama mereka meninggal dulu untuk melakukan poligami.”
***
“Fenomena Aa’ Gym ini persis seperti peristiwa penyembelihan Ismail as oleh Nabi Ibrahim as,” simpul Pak Edy sambil menyelonjorkan kaki di beranda masjid. Ceramah shubuh oleh Pak Herman baru saja usai.
“Fenomena apa itu, Pak?” tanya saya.
“Ujian cinta!” katanya penuh misteri.
“Ujian cinta bagaimana?”
“Ya. Nabi Ibrahim diuji oleh Allah, mana yang lebih dicinta: Ismail, anak yang kelahirannya didambanya berpuluh tahun ataukah Allah SWT?”
Saya dan beberapa jamaah yang masih bertahan di beranda manggut-manggut.
“Demikian juga dengan poligami Aa’ Gym,” katanya melanjutkan. “Jika jamaah Aa’ Gym begitu saja meninggalkan pengajian MQ ketika tahu Aa’ menikah lagi, itu berarti mereka selama ini datang mendengarkan taushiyah hanya karena Aa’ Gym. Cinta mereka sebatas hanya kepada Aa’ Gym. Tak lebih. Cinta mereka bukan kecintaan yang tulus kepada Allah.”
“Betul juga, sampean. Lantas apa hubungannya dengan Nabi Ibrahim dan Ismail?” “Peristiwa poligami Aa’ Gym ini seperti penyembelihan Ibrahim atas Ismail, yakni pemisahan antara yang benar-benar cinta kepada Allah dan yang sekadar cinta kepada manusia. Entah cinta kepada seorang anak. Ataukah cinta kepada seorang pendakwah.”
Saya setuju dengan tetangga saya itu. Saya juga sependapat dengan Ibu Sirikit Syah sebagaimana tulisannya di Jawa Pos 13 Desember 2006 yang lalu. Barangkali dengan peristiwa ini Allah ingin menunjukkan kepada kita bahwa Aa’ Gym bukanlah ‘dewa’. Justru karenanya Ia telah menyelamatkan kita dari “cinta yang salah”. Dan di sisi lain, kita akan tersadarkan bahwa dai kondang itu ternyata manusia biasa seperti kita.
***
Dari Sahabat
Dibalik Permainan
Seorang ibu guru sedang bersemangat mengajarkan sesuatu kepada murid-muridnya. Ia duduk menghadap murid-muridnya. Di tangan kirinya ada kapur, di tangan kanannya ada pensil. Ibu guru itu berkata, “Saya ada satu permainan… Caranya begini, ditangan kiri saya ada kapur, di tangan kanan ada pensil. Jika saya angkat kapur ini, maka berkatalah “Kapur!”, jika saya angkat pensil ini, maka berkatalah “Pensil!”
Murid muridnya pun mengerti dan mengikuti. Guru berganti-gantian mengangkat antara kanan dan kiri tangannya, semakin lama semakin cepat. Beberapa saat kemudian guru kembali berkata, “Baik sekarang perhatikan. Jika saya angkat kapur, maka sebutlah “Pensil!”, jika saya angkat pensil, maka katakanlah “Kapur!”. Dan diulangkan seperti tadi, tentu saja murid-murid tadi keliru dan kikuk, dan sangat sukar untuk mengubahnya. Namun lambat laun, mereka sudah biasa dan tidak lagi kikuk. Selang beberapa saat, permainan berhenti.
Sang guru tersenyum kepada murid-muridnya. “Murid-murid, begitulah kita umat Islam. Mulanya yang haq itu haq, yang bathil itu bathil. Kita begitu jelas membedakannya. Namun kemudian, musuh musuh kita memaksakan kepada kita dengan perbagai cara, untuk menukarkan sesuatu, dari yang haq menjadi bathil, dan sebaliknya. Pertama-tama mungkin akan sukar bagi kita menerima hal tersebut, tapi karena terus disosialisasikan dengan cara-cara menarik oleh mereka, akhirnya lambat laun kamu akan terbiasa dengan hal itu. Dan anda mulai dapat mengikutinya. Musuh-musuh kamu tidak pernah berhenti membalik dan menukar nilai dan waktu.
“Keluar berduaan, berkasih-kasihan tidak lagi sesuatu yang susah, Zina tidak lagi jadi persoalan, pakaian seksi menjadi hal yang lumrah, tanpa rasa malu, sex sebelum nikah menjadi suatu kebiasaan dan trend, hiburan yang asyik dan panjang sehingga melupakan yang wajib adalah biasa, materialistik kini menjadi suatu gaya hidup dan lain lain.” “Semuanya sudah terbalik. Dan tanpa disadari, anda sedikit demi sedikit menerimanya tanpa rasa ia satu kesalahan dan kemaksiatan. Paham?” tanya Guru kepada murid-muridnya. “Paham guru…”
“Baik permainan kedua…” begitu Guru melanjutkan.
“Ini ada Qur’an,saya akan meletakkannya di tengah karpet. Sekarang anda berdiri diluar karpet. Permainannya adalah, bagaimana caranya mengambil Qur’an yang ada ditengah tanpa menginjak karpet?”
Murid-muridnya berpikir.
Ada yang mencoba alternatif dengan tongkat, dan lain-lain.
Akhirnya Guru memberikan jalan keluar, digulungnya karpet, dan ia ambil Qur’an. Ia memenuhi syarat, tidak menginjak karpet. “Murid-murid, begitulah ummat Islam dan musuh-musuhnya…Musuh-musuh Islam tidak akan menginjak-nginjak anda dengan terang-terang…Kerana tentu anda akan menolaknya mentah mentah. Orang biasapun tak akan rela kalau Islam dihina dihadapan mereka. Tapi mereka akan menggulung anda perlahan-lahan dari pinggir, sehingga anda tidak sadar.
“Jika seseorang ingin membuat rumah yang kuat, maka dibuatlah pondasi yang kuat. Begitulah Islam, jika ingin kuat, maka bangunlah aqidah yang kuat. Sebaliknya, jika ingin membongkar rumah, tentu susah kalau dimulai dgn pondasinya dulu, tentu saja hiasan-hiasan dinding akan dikeluarkan dulu, kursi dipindahkan dulu, Lemari dikeluarkan dulu satu persatu, baru rumah dirobohkankan…”
“Begitulah musuh-musuh Islam menghancurkan kita. Ia tidak akan menghantam terang-terangan, tapi ia akan perlahan-lahan mempengaruhi anda. Mulai dari perangai anda, cara hidup, pakaian dan lain-lain, sehingga meskipun anda muslim, tapi anda telah meninggalkan ajaran Islam dan mengikuti cara yang mereka… Dan itulah yang mereka inginkan.” “Ini semua adalah fenomena Ghazwul Fikri (Perang Pemikiran). Dan inilah yang dijalankan oleh musuh-musuh kita… “
“Kenapa mereka tidak berani terang-terang menginjak-nginjak, bu?” tanya murid-murid.
“Sesungguhnya dahulu mereka terang-terang menyerang, misalnya Perang Salib, Perang Tartar, dan lain-lain. Tapi sekarang tidak lagi.” “Begitulah Islam… Kalau diserang perlahan-lahan, mereka tidak akan sadar, akhirnya hancur. Tapi kalau diserang serentak terang-terangan, mereka akan bangkit serentak, baru mereka akan sadar”.
“Kalau begitu, kita selesaikan pelajaran kita kali ini, dan mari kita berdoa dahulu sebelum pulang…” Matahari bersinar terik takala anak-anak itu keluar meninggalkan tempat belajar mereka dengan pikiran masing-masing di kepalanya…
Renungilah Sahabat Semua.
***
Dari Sahabat
Jeruk Busuk Rasa Manis
Suara marah itu berasal dari lelaki tua yang kedatangan salah satu keluarganya dengan membawa jeruk. Boleh jadi benar, bahwa beberapa jeruk dalam jinjingan itu busuk atau masam. Meski tidak semua jeruk yang dibawanya itu busuk dan sangat kebetulan yang terambil pertama oleh si pasien yang busuk. Dan tanpa bertanya lagi, marahlah ia kepada si pembawa jeruk.
Sebenarnya, boleh dibilang wajar jika seorang pasien marah lantaran kondisinya labil dan kesehatannya terganggu. Ketika ia marah karena jeruk yang dibawa salah satu keluarganya itu busuk, mungkin itu hanya pemicu dari segunung emosi yang terpendam selama berhari-hari di rumah sakit. Penat, bosan, jenuh, mual, pusing, panas, dan berbagai perasaan yang menderanya selama berhari-hari, belum lagi ditambah dengan bisingnya rumah sakit, perawat yang kadang tak ramah, keluarga yang mulai uring-uringan karena kepala keluarganya sekian hari tak bekerja, semuanya membuat dadanya bergemuruh. Lalu datanglah salah satu saudaranya dengan setangkai ketulusan berjinjing jeruk. Namun karena jeruk yang dibawanya itu tak bagus, marahlah ia.
Wajar. Sekali lagi wajar. Tetapi tidak dengan peristiwa lain yang hampir mirip terjadi di acara keluarga besar belum lama ini. Seorang keluarga yang tengah diberi ujian Allah menjalani kehidupannya dalam ekonomi menengah ke bawah, berupaya untuk tetap berpartisipasi dalam acara keluarga besar tersebut. Tiba-tiba, “Kalau nggak mampu beli jeruk yang bagus, mending nggak usah beli. Jeruk asam gini siapa yang mau makan?” suara itu terdengar di tengah-tengah keluarga dan membuat malu keluarga yang baru datang itu.
Pupuslah senyum keluarga itu, rusaklah acara kangen-kangenan keluarga oleh kalimat tersebut. Si empunya suara mungkin hanya melihat dari jeruk masam itu, tapi ia tak mampu melihat apa yang sudah dilakukan satu keluarga itu untuk bisa membawa sekantong jeruk yang boleh jadi harganya tak seberapa.
Harga sekantong jeruk mungkin tak lebih dari sepuluh ribu rupiah. Tapi tahukah seberapa besar pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk membelinya? Rumahnya sangat jauh dari rumah tempat acara keluarga, dan sedikitnya tiga kali tukar angkutan umum. Sepuluh ribu itu seharusnya bisa untuk makan satu hari satu keluarga. Boleh jadi mereka akan menggadaikan satu hari mereka tanpa lauk pauk di rumah. Atau jangan-jangan pagi hari sebelum berangkat, tak satu pun dari anggota keluarga itu sempat menyantap sarapan karena uangnya dipakai untuk membeli jeruk. Yang lebih parah, mungkin juga mereka rela berjalan kaki dari jarak yang sangat jauh dan memilih tak menumpang satu dari tiga angkutan umum yang seharusnya. “Ongkos bisnya kita belikan jeruk saja ya, buat bawaan. Nggak enak kalau nggak bawa apa-apa,” kata si Ayah kepada keluarganya.
Kalimat sang Ayah itu, hanya bisa dijawab dengan tegukan ludah kering si kecil yang sudah tak sanggup menahan lelah dan panas berjalan beberapa ratus meter. Tak tega, Ayah yang bijak itu pun menggendong gadis kecil yang hampir pingsan itu. Ia tetap memaksakan hati untuk tega demi bisa membeli harga dari di depan keluarga besarnya walau hanya dengan sekantong jeruk. Menahan tangisnya saat mendengar lenguhan nafas seluruh anggota keluarganya sambil berkali-kali membungkuk, jongkok, atau bahkan singgah sesaat untuk mengumpulkan tenaga. Itu dilakukannya demi mendapatkan sambutan hangat keluarga besar karena menjinjing sesuatu.
Setibanya di tempat acara, sebuah rumah besar milik salah satu keluarga jauh yang sukses, menebar senyum di depan seluruh keluarga yang sudah hadir sambil bangga bisa membawa sejinjing jeruk, lupa sudah lelah satu setengah jam berjalan kaki, tak ingat lagi terik yang memanggang tenggorokan, bertukar dengan sejumput rindu berjumpa keluarga. Namun, terasa sakit telinga, layaknya dibakar dua matahari siang. Lebih panas dari sengatan yang belum lama memanggang kulit, ketika kalimat itu terdengar, “Jeruk asam begini kok dibawa…”
Duh. Jika semua tahu pengorbanan yang dilakukan satu keluarga itu untuk bisa menjinjing sekantong jeruk tadi, pastilah semua jeruk asam itu akan terasa manis. Jauh lebih manis dari buah apa pun yang dibawa keluarga lain yang tak punya masalah keuangan. Yang bisa datang dengan kendaraan pribadi atau naik taksi dengan ongkos yang cukup untuk membeli seperti jeruk manis dan segar.
Mampukah kita melihat sedalam itu? Sungguh, manisnya akan terasa lebih lama, meski jeruknya sudah dimakan berhari-hari yang lalu.
Bayu Gawtama
Monday, September 2, 2013
Sajadah Tua Milik Ibu
Cerpen oleh: Maria Magdalena Bhoemomo
Sajadah milik Ibu sudah tua, Bahkan lebih tua dibanding umurku yang kini sudah berkepala tiga. Ketuaan sajadah itu bisa dilihat dari warnanya yang sudah kusam dan susunan serat kainnya yang sudah rapuh sehingga bolong-bolong. Jika dikebat-kebatkan, sehabis digunakan untuk shalat, banyak serpihan serat kainnya berguguran.
Meskipun demikian, Ibu tetap selaiu melakukan shalat dengan menggunakan sajadah tua itu, Padahal, di dalam lemari pakaiannya. ada lima lembar sajadah lain yang bagus-bagus, Sebagai anak semata wayang, yang sudah cukup makmur karena berpenghasiian cukup tinggi sebagai anggota legislatif, aku sangat malu melihat Ibu mengikuti shalat berjamaah di masjid dengan memakai sajadah tuanya itu. Sudah berkali-kali aku memprotesnya, agar membuang atau membakar sajadah luanya itu. Tapi Ibu tak pernah menggubris protesku.
“Aku sangat malu kalau sajadah lua yang sudah layak dibuang ke tong sampah itu tetap Ibu gunakan untuk shalat di masjid,” ujarku dengan kesal, ketika melihat Ibu pulang dari masjid selepas maghrib.
“Kenapa kamu yang malu? Padahal, Ibu tidak malu. Dan Ibu akan selalu memakai sajadah tua ini setiap melakukan shalat di mana pun.”
“Ibu kolot!”
“Ya, maklumlah. Orangtua memang harus kolot.”
“Ibu tidak mau bersyukur.”
“Apa katamu? Justru Ibu bersyukur, karena bisa tetap melaksanakan shalat dengan sajadah tua ini.”
Aku ingin berdebat lagi. Tapi rasanya percuma saja berdebat dengan Ibu yang sudah terlanjur menyukai sajadah tuanya itu. Lalu aku teringat riwayat sajadah tua itu.
Konon, sajadah tua itu merupakan mas kawin yang diberikan oleh Ayah (sekarang almarhum) ketika menikahi Ibu. Dan konon, Ayah memang sedang miskin, tak punya uang, dan satu-satunya barang berharga yang bisa digunakan untuk mas kawin adalah sajadah tua itu.
Dan konon pula, sajadah tua itu bukan dibeli oleh Ayah, melainkan merupakan hadiah istimewa dari Ustadz Basyir. Ayah mendapat hadiah istimewa berupa sajadah tua itu dari Ustad Basyir, karena Ayah berhasil menghapal 30 juz Al-Qur’an dalam usia 20 tahun. Begitulah, semasa mudanya. Ayah memang menjadi santri di pondok milik Ustadz Basyir untuk belajar menghapal Al-Qur’an.
***
MALAM itu sudah larut. Ibu sudah tidur. Istriku juga sudah tidur bersama anak-anak, Tapi aku masih saja duduk termenung di ruang kerjaku. Pikiranku rasanya tegang, karena tetap merisaukan sajadah tua milik Ibu yang tetap selalu dipakainya untuk shalat di masjid. Seandainya sajadah tua itu hanya dipakai untuk shalat di rumah, mungkin tidak akan merisaukanku.
Tiba-tiba aku mendapat gagasan jahat: Mencuri, lalu membuang atau membakar sajadah tua itu, agar Ibu bersedia memakai sajadahnya yang lain yang bagus-bagus, Ya, aku memang harus mencurinya. Dan tanpa berpikir panjang lagi, segera aku memasuki kamar Ibu dan mencuri sajadah tuanya itu. Sebagaimana maling, langkahku bersijingkat, sangat pelan, ketika masuk dan kemudian keluar dari kamar Ibu dengan membawa sajadah tua itu. Tapi, sebelum aku keluar dari kamar Ibu, jendelanya kubuka lebar-lebar, agar mengesankan ada maling betulan yang telah memasuki kamarnya dan kemudian mencuri sajadah tuanya itu.
Begitulah, sajadah tua milik Ibu kemudian kusembunyikan di dalam almari buku di ruang kerjaku. Aku tidak tega jika langsung membuang atau membakarnya. Aku masih dihinggapi perasaan iba dan khawatir. Ya, aku pasti kasihan jika melihat Ibu bersedih gara-gara kehilangan sajadah tuanya itu. Dan aku tidak ingin Ibu kemudian jatuh sakit karena terus menerus bersedih.
Malam semakin larut, Dan aku kemudian tidur bersama istri dan anak-anak. Dan menjelang waktu subuh, seperti biasanya Ibu bangun tidur dan langsung mandi serta berwudhu sebelum kemudian berangkat ke masjid untuk mengikuti shalat subuh berjamaah.
“Maling sial! Maling terkutuk! Kenapa sajadah tua yang tidak mungkin bisa dijual harus kamu curi, maling terkutuk?!” teriak Ibu berulang-ulang sambil menangis. Aku dan istriku tersentak bangun.
“Cepat keluar, Mas. Mungkin ada maling yang telah memasuki kamar Ibu,” perintah istriku dengan wajah panik.
Dengan sikap tenang, aku beranjak ke kamar ibu. Dan aku sangat terkejut ketika melihat Ibu tergeletak lemas di lantai kamar. Segera kuangkat Ibu untuk kubaringkan di atas ranjangnya. Mata Ibu berbuka lebar-lebar, dan bibirnya bergerak-gerak membisikkan kata-kata kutukan: “Maling terkutuk. Maling terkutuk. Maling terkutuk.”
Dadaku berdebar-debar mendengar kutukan Ibu yang diulang-ulang itu. Aku merasa sangat bersalah dan menyesal, karena telah menjadi maling yang mencuri sajadah tua milik Ibu itu. Aku sangat takut, jika kutukan Ibu dikabulkan oleh Tuhan. Tapi, semuanya sudah terlanjur. Aku tidak akan mengaku telah mencuri sajadah tua itu kepada siapa pun, khususnya kepada Ibu dan istriku. Sebab, aku yakin, jika aku mengaku telah mencuri sajadah tua itu, maka Ibu akan menuntutku agar mengembalikannya dan kemudian Ibu kembali akan memakainya untuk shalat sebagaimana biasanya. Tidak. Aku tidak mau menanggung malu terus menerus gara-gara Ibu selalu memakai sajadah tuanya itu untuk shalat di masjid.
Istriku menyusulku ke kamar Ibu. Dan setelah melihat Ibu nampak habis terserang stroke, istriku kemudian menatap jendela yang terbuka lebar-lebar itu.
“Pasti malingnya masuk lewat jendela itu, Mas,” tebak istriku.
“Ya, mungkin saja.”
“Tapi aneh rasanya, ada maling kok sudi mencuri sajadah tua yang pasti tidak akan bisa dijual,” lanjut istriku dengan kening berkerut.
“Mungkin malingnya punya tujuan khusus, Misalnya, ingin mendapatkan jimat. Konon, sajadah tua memang bisa digunakan untuk jimat,” ujarku. Ibu masih saja membisikkan kalimat kutukan terhadap maling yang telah mencuri sajadah tuanya. Dan aku mendengarnya dengan hati yang semakin berdebar-debar. Aku takut jika kutukan Ibu menimpa diriku. Lalu, dengan lembut aku dan istriku menghibur Ibu.
“Sudahlah, Bu. Lupakan saja sajadah tua yang telah dicuri oleh maling itu. Bukankah Ibu masih punya lima sajadah yang bagus-bagus?” hibur istriku. “Doakan saja semoga malingnya bertobat, dan kemudian rajin melakukan shalat dengan menggunakan sajadah tua yang dicurinya itu, Bu. Sebaiknya Ibu mengikhlaskannya dan memaafkan malingnya, agar Ibu mendapat banyak bahala,” hiburku.
Ibu kemudian tidak membisikkan lagi kalimat kutukan. Tapi untuk selanjutnya, Ibu tidak bisa bangkit lagi, tetap saja terbaring, karena menderita lumpuh.
Dengan demikian, setiap melakukan shalat, Ibu tidak membutuhkan sajadah lagi, karena shalatnya dilakukan sambil berbaring. Istriku ikut-ikutan mengutuk maling yang telah mencuri sajadah tua milik Ibu, yang membuat Ibu jatuh sakit dan menderita kelumpuhan permanen itu.
“Gara-gara maling sial dan terkutuk itu, aku jadi repot sekali merawat Ibu,” gerutu istriku menjelang tidur.
Mendengar istriku mengutuk maling yang sebenarnya adalah diriku, aku semakin ketakutan. Sebab, konon, kutukan seorang Ibu, juga istri, bisa menjadi kenyataan.
***
SEBAGAI anggota legislatif dari partai reformis, aku dikenal bersih dan anti korupsi. Bahkan, gara-gara aku menjadi tokoh reformasi yang sering lantang menentang korupsi, kemudian aku direkrut masuk partai kemudian berhasil duduk sebagai anggota legislatif.
Tapi, setelah aku menjadi maling yang mencuri sajadah tua milik Ibu, beberapa rekanku yang gemar melakukan korupsi suka membujukku agar ikut-ikutan melakukan korupsi.
“Pada masa kini, menjadi orang jujur bisa justru ajur. Dan menjadi orang bersih bisa justru tersisih!” ujar rekanku.
“Pada mulanya, melakukan korupsi memang sangat merisaukan hati. Tapi, jika kita melihat kenyataan yang ada, betapa korupsi adalah sesuatu yang wajar, maka perasaan risau itu dengan sendirinya akan sirna,” tutur rekanku yang lain.
Begitulah. Mula-mula, aku mencoba ikut-ikutan melakukan korupsi dana proyek rehabilitasi jalan-jalan dan jembatan yang sengaja digelembungkan. Dan hasil korupsi itu kemudian kugunakan untuk membeli mobil mewah.
“Uang dari mana yang kamu gunakan untuk membeli mobil mewah ini, Mas?” tanya istriku ketika aku pulang membawa mobil mewah tipe terbaru yang harganya hampir satu milyar rupiah itu.
“Ini hadiah istimewa dari Pak Gubernur, karena aku dan rekan-rekan telah berhasil mengesahkan undang-undang baru yang sangat menguntungkan pihak eksekutif,” jawabku berbohong.
“Oh, begitu. Aku kira kamu sudah mulai suka melakukan korupsi, Mas.”
“Eh, jangan suka berprasangka buruk. Jelek-jelek begini, aku tetap punya moral dan sejak dulu dikenal sebagai tokoh reformis yang anti korupsi.”
Dan sejak punya mobil mewah, tiba-tiba aku gemar menghabiskan waktu di tempat-tempat hiburan. Mungkin karena selalu risau, maka aku membutuhkan hiburan. Mula-mula, aku mencoba mencicipi minuman keras, agar punya pengalaman mabuk. Konon, dengan mabuk seseorang bisa mengusir rasa risau di hatinya. Lalu, karena di tempat hiburan ada banyak cewek cantik yang siap menghiburku, maka aku pun kemudian mencoba mengajak tidur seorang cewek cantik yang mengaku masih kuliah itu, Dan sehabis bercinta dengan cewek cantik itu, tiba-tiba kelaminku sangat gatal dan panas. Lalu segera aku berobat ke dokter.
“Anda terkecoh,” kata dokter. “Cewek itu pasti pelacur profesional yang menderita penyakit kelamin kronis. Sebaiknya Anda melakukan tes darah. Siapa tahu, Anda bukan hanya tertular kencing nanah, tapi juga AIDS.”
Dengan sedih dan panik, aku kemudian menjalani tes darah. Dan hasilnya ternyata positif: Aku telah tertular virus mematikan itu.
***
SEBAGAI pengidap AIDS, aku merasa betapa hari kematianku sangat dekat. Aku sangat marah, menyesal, dan putus asa. Perilakuku semakin buruk. Semakin sering aku terlibat kasus korupsi, dan hasilnya kugunakan untuk berfoya-foya di tempat-tempat hiburan. Istriku nampak bersikap toleran, karena telah mendapatkan semua gajiku perbulan yang cukup besar. Sedangkan untuk merawat Ibu sehari-hari, istriku sudah punya dua orang pembantu di rumah. Dan sebagai istri anggota legislatif, istriku pun semakin gemar berbelanja mewah dan mencoba memasak berbagai menu sesuai dengan resep-resep terbaru yang dimuat di majalah-majalah.
Suatu malam, istriku memprotesku, karena sudah lama aku tidak mengajaknya bercinta.
“Kamu sudah bosan denganku, ya? Atau, jangan-jangan kamu suka main serong atau bahkan punya simpanan?”
“Memangnya aku ini orang yang bias santai? Maklumlah, aku ini anggota legislatif, yang selalu sibuk dan capek setiap hari,” tukasku.
Ya, setiap kali aku pergi ke tempat-tempat hiburan atau bercinta dengan pelacur di hotel, selalu aku pamit hendak mengikuti rapat tertutup. Dan istriku selalu mempercayai kata-kalaku. Dan jika aku tidak pernah lagi mengajaknya bercinta, semata-mata karena aku sayang kepada keluarga. Aku tidak ingin istriku tertular penyakit AIDS. Namun, malam itu, istriku benar-benar bergairah dan memaksaku bercinta. Maka aku pantang menolak, apalagi istriku berseloroh bahwa dia telah menyangsikan keperkasaanku, karena aku terus menerus sibuk dan capek.
Dan setelah bercinta denganku, istriku menderita flu berat. Dan setelah berobat ke dokter, istriku tidak kunjung sembuh. Lalu dokter memintanya untuk menjalani tes darah. Dan hasilnya, istriku positif dinyatakan mengidap AIDS.
“Rupanya kamu telah berbohong kepadaku, Mas. Kamu telah berkhianat. Kamu tega menularkan penyakit AIDS kepadaku. Kamu kejam, Mas.”
Istriku menangis dan meratap-ratap. Aku sangat iba dan ikut-ikutan menangis. Kukatakan bahwa nasibku yang sial mungkin karena dikutuk oleh Ibu, gara-gara aku mencuri sajadah tua itu.
“Di mana sajadah tua itu sekarang, Mas?” tanya istriku. “Kalau masih ada. cepat serahkan kembali kepada Ibu. Dan kamu harus minta maaf kepadanya.”
Dengan terpaksa, aku segera mengambil sajadah tua yang kusimpan di lemari buku di ruang kerjaku. Lalu segera kuberikan sajadah tua itu kepada Ibu.
Sungguh ajaib. Ibu langsung bangkit dan tidak lumpuh lagi, begitu melihat sajadah tuanya. Segera ibu menciumi sajadah tuanya itu, sebelum kemudian bergegas mengambil wudhu dan melakukan sujud syukur dengan menggunakan sajadah tuanya itu. Dan untuk selanjutnya, Ibu kembali melakukan shalat lima waktu di masjid dengan sajadah tuanya itu.
Sementara itu, nasibku dan nasib istriku semakin buruk. Bahkan, istriku harus dirawat di rumah sakit dengan diperlakukan khusus sebagai pasien AIDS. Istriku ditempatkan di kamar khusus, mirip karantina, karena kondisinya semakin memburuk. Tidak ada pembesuk yang dibolehkan menemuinya, kecuali aku dan anak-anak.
Tubuhku juga semakin lemah dan kurus. Tapi aku berusaha untuk tetap tegar dan tetap menjalankan tugas-tugasku sebagai anggota legislatif. Dengan mobil mewah, aku pergi dan pulang kerja. Dan jika pikiranku sangat risau dan sedih, segera aku pergi ke hotel dan bercinta dengan pelacur cantik.
Suatu malam, ketika aku sedang bercinta dengan pelacur cantik di hotel, tiba-tiba HP-ku berdering. Rupanya ada telepon dari rumah sakit tempat istriku dirawat.
“Istri Anda telah diambil oleh Tuhan. Kami turut berduka cita yang sedalam-dalamnya.”
Dengan terburu-buru, aku segera melarikan mobilku kencang-kencang menuju rumah sakit. Padahal, aku sangat letih dan setengah mabuk akibat minuman keras yang habis kureguk. Dan ketika melesat melewati tikungan yang cukup ramai, mobilku lerlalu kencang berlari, sehingga beberapa becak yang memadati jalan kutabrak dengan keras, sebelum kemudian mobilku membentur keras-keras pagar jalan.
Teriakan-teriakan umpatan dan kutukan para tukang becak sangat menakutkanku. Mobilku telah ringsek. Aku tetap duduk di belakang setir yang menjepit dadaku. Aku masih sadar, dan bisa melihat beberapa tukang becak mengumpat-umpat dan mengutukku sambil menyulut bensin yang tumpah di bawah mobilku. Aku pun masih bisa melihat api mulai berkobar membakar mobilku, sebelum kemudian membakar tubuhku.
Aku sangat yakin, meski aku telah mati, betapa esok pasti koran-koran memuat di halaman pertama gambar mobilku yang terbakar bersama diriku yang telah hangus. Dan di bawannya, ada tulisan singkat: Seorang anggota dewan legislatif mengalami kecelakaan tragis.
***
Dari Sahabat
4 Orang Istri
Suatu ketika, ada seorang pedagang kaya yang mempunyai 4 orang istri.
Dia mencintai istri yang keempat, dan menganugerahinya harta dan kesenangan yang banyak. Sebab, dialah yang tercantik diantara semua istrinya. Pria ini selalu memberikan yang terbaik buat istri keempatnya ini.
Pedagang itu juga mencintai istrinya yang ketiga. Dia sangat bangga dengan istrinya ini, dan selalu berusaha untuk memperkenalkan wanita ini kepada semua temannya. Namun, ia juga selalu khawatir kalau istrinya ini akan lari dengan pria yang lain.
Begitu juga dengan istri yang kedua. Ia pun sangat menyukainya. Ia adalah istri yang sabar dan pengertian. Kapanpun pedagang ini mendapat masalah, dia selalu meminta pertimbangan istrinya ini. Dialah tempat bergantung. Dia selalu menolong dan mendampingi suaminya, melewati masa-masa yang sulit.
Sama halnya dengan istri yang pertama. Dia adalah pasangan yang sangat setia. Dia selalu membawa perbaikan bagi kehidupan keluarga ini. Dia lah yang merawat dan mengatur semua kekayaan dan usaha sangsuami. Akan tetapi, sang pedagang, tak begitu mencintainya. Walaupun sang istri pertama ini begitu sayang padanya, namun, pedagang ini tak begitu mempedulikannya.
Suatu ketika, si pedagang sakit. Lama kemudian, ia menyadari, bahwa ia akan segera meninggal. Dia meresapi semua kehidupan indahnya, dan berkata dalam hati. “Saat ini, aku punya 4 orang istri. Namun, saat aku meninggal, aku akan sendiri. Betapa menyedihkan jika aku harus hidup sendiri.”
Lalu, ia meminta semua istrinya datang, dan kemudian mulai bertanya pada istri keempatnya. “Kaulah yang paling kucintai, kuberikan kau gaun dan perhiasan yang indah. Nah, sekarang, aku akan mati, maukah kau mendampingiku dan menemaniku? Ia terdiam. “Tentu saja tidak, “jawab istri keempat, dan pergi begitu saja tanpa berkata-kata lagi.
Jawaban itu sangat menyakitkan hati. Seakan-akan, ada pisau yang terhunus dan mengiris-iris hatinya.
Pedagang yang sedih itu lalu bertanya pada istri ketiga. “Akupun mencintaimu sepenuh hati, dan saat ini, hidupku akan berakhir. Maukah kau ikut denganku, dan menemani akhir hayatku? Istrinya menjawab, Hidup begitu indah disini. Aku akan menikah lagi jika kau mati. Sang pedagang begitu terpukul dengan ucapan ini. Badannya mulai merasa demam.
Lalu, ia bertanya pada istri keduanya. “Aku selalu berpaling padamu setiap kali mendapat masalah. Dan kau selalu mau membantuku. Kini, aku butuh sekali pertolonganmu. Kalau ku mati, maukah kau ikut dan mendampingiku? Sang istri menjawab pelan. “Maafkan aku,” ujarnya “Aku tak bisa menolongmu kali ini. Aku hanya bisa mengantarmu hingga ke liang kubur saja. Nanti, akan kubuatkan makam yang indah buatmu. Jawaban itu seperti kilat yang menyambar. Sang pedagang kini merasa putus asa.
Tiba-tiba terdengar sebuah suara. “Aku akan tinggal denganmu. Aku akan ikut kemanapun kau pergi. Aku, tak akan meninggalkanmu, aku akan setia bersamamu. Sang pedagang lalu menoleh ke samping, dan mendapati istri pertamanya disana. Dia tampak begitu kurus. Badannya tampak seperti orang yang kelaparan. Merasa menyesal, sang pedagang lalu bergumam, “Kalau saja, aku bisa merawatmu lebih baik saat ku mampu, tak akan kubiarkan kau seperti ini, istriku.”
Renungan :
Teman, sesungguhnya kita punya 4 orang istri dalam hidup ini. Istri yang keempat, adalah tubuh kita. Seberapapun banyak waktu dan biaya yang kita keluarkan untuk tubuh kita supaya tampak indah dan gagah, semuanya akan hilang. Ia akan pergi segera kalau kita meninggal. Tak ada keindahan dan kegagahan yang tersisa saat kita menghadap-Nya.
Istri yang ketiga, adalah status sosial dan kekayaan. Saat kita meninggal, semuanya akan pergi kepada yang lain. Mereka akan berpindah, dan melupakan kita yang pernah memilikinya.
Sedangkan istri yang kedua, adalah kerabat dan teman-teman. Seberapapun dekat hubungan kita dengan mereka, mereka tak akan bisa bersama kita selamanya. Hanya sampai kuburlah mereka akan menemani kita.
Dan, teman, sesungguhnya, istri pertama kita adalah jiwa dan amal kita. Mungkin, kita sering mengabaikan, dan melupakannya demi kekayaan dan kesenangan pribadi. Namun, sebenarnya, hanya jiwa dan amal kita sajalah yang mampu untuk terus setia dan mendampingi kemanapun kita melangkah. Hanya amal yang mampu menolong kita di akhirat kelak.
***
Dari Sahabat
Gaji Papa Berapa?
Seperti biasa Doni, Kepala Cabang di salah satu Bank swasta di Jakarta , tiba di rumahnya pada pukul 9 malam. Tidak seperti biasanya, Kiran, putri pertamanya yang baru duduk di kelas tiga SD membukakan pintu untuknya. Nampaknya Ia sudah menunggu cukup lama. “Kok, belum tidur ?” sapa Doni sambil mencium anaknya. Biasanya Kiran memang sudah lelap ketika Ia pulang dan baru terjaga ketika Ia akan berangkat ke kantor pagi hari.
Sambil membuntuti sang Papa menuju ruang keluarga, Kiran menjawab, “Aku nunggu Papa pulang. Sebab aku mau tanya berapa sih gaji Papa ?”.
“Lho tumben, kok nanya gaji Papa ? Mau minta uang lagi, ya ?”.
“Ah, enggak. Pengen tahu aja” ucap Kiran singkat.
“Oke. Kamu boleh hitung sendiri. Setiap hari Papa bekerja sekitar 10 jam dan dibayar Rp 400.000,-. Setiap bulan rata-rata dihitung 22 Hari kerja. Sabtu dan minggu libur, kadang Sabtu Papa masih lembur. Jadi, gaji Papa dalam satu bulan berapa, hayo ?”. Kiran berlari mengambil kertas dan pensilnya dari meja belajar sementara Papanya melepas sepatu dan menyalakan televisi. Ketika Doni beranjak menuju kamar untuk berganti pakaian, Kiran berlari mengikutinya. “Kalo satu hari Papa dibayar Rp 400.000,- untuk 10 jam, berarti satu jam Papa digaji Rp 40.000,- dong” katanya.
“Wah, pinter kamu. Sudah, sekarang cuci kaki, tidur” perintah Doni tetapi Kiran tidak beranjak. Sambil menyaksikan Papanya berganti pakaian, Kiran kembali bertanya, “Papa, aku boleh pinjam uang Rp 5.000,- enggak ?”.
“Sudah, nggak usah macam-macam lagi. Buat apa minta uang malam-malam begini ? Papa capek. dan mau mandi dulu. Tidurlah”.
“Tapi Papa…”
Kesabaran Doni pun habis. “Papa bilang tidur !” hardiknya mengejutkan Kiran. Anak kecil itu pun berbalik menuju kamarnya. Usai mandi, Doni nampak menyesali hardiknya. Ia pun menengok Kiran di kamar tidurnya. Anak kesayangannya itu belum tidur. Kiran didapati sedang terisak-isak pelan sambil memegang uang Rp 15.000,- di tangannya.
Sambil berbaring dan mengelus kepala bocah kecil itu, Doni berkata, “Maafkan Papa, Nak, Papa sayang sama Kiran. Tapi buat apa sih minta uang malam-malam begini ? Kalau mau beli mainan, besok kan bisa. Jangankan Rp 5.000,- lebih dari itu pun Papa kasih” tanya Doni. “Papa, aku enggak minta uang. Aku hanya pinjam. Nanti aku kembalikan kalau sudah menabung lagi dari uang jajan selama minggu ini”.
“lya, iya, tapi buat apa ?” tanya Doni lembut.
“Aku menunggu Papa dari jam 8. Aku mau ajak Papa main ular tangga. Tiga puluh menit aja. Mama sering bilang kalo waktu Papa itu sangat berharga. Jadi, aku mau ganti waktu Papa. Aku buka tabunganku, hanya Ada Rp15.000,- tapi karena Papa bilang satu jam Papa dibayar Rp 40.000,-maka setengah jam aku harus ganti Rp 20.000,-. Tapi duit tabunganku kurang Rp 5.000, makanya aku mau pinjam dari Papa” kata Kiran polos.
Donipun terdiam. Ia kehilangan kata-kata. Dipeluknya bocah kecil itu erat-erat dengan perasaan haru. Dia baru menyadari, ternyata limpahan harta yang dia berikan selama ini, tidak cukup untuk “membeli” kebahagiaan anaknya.
***
Dari Sahabat
Aku Ingin Mencintaimu Dengan Sederhana
De’… de’…. Selamat Ulang Tahun…” bisik seraut wajah tampan tepat di hadapanku.
“Hmm…” aku yang sedang lelap hanya memicingkan mata dan tidur kembali setelah menunggu sekian detik tak ada kata-kata lain yang terlontar dari bibir suamiku dan tak ada sodoran kado di hadapanku.
Shubuh ini usiaku dua puluh empat tahun. Ulang tahun pertama sejak pernikahan kami lima bulan yang lalu. Nothing special. Sejak bangun aku cuma diam, kecewa. Tak ada kado, tak ada black forest mini, tak ada setangkai mawar seperti mimpiku semalam. Malas aku beranjak ke kamar mandi. Shalat Subuh kami berdua seperti biasa. Setelah itu kuraih lengan suamiku, dan selalu ia mengecup kening, pipi, terakhir bibirku. Setelah itu diam. Tiba-tiba hari ini aku merasa bukan apa-apa, padahal ini hari istimewaku. Orang yang aku harapkan akan memperlakukanku seperti putri hari ini cuma memandangku.
Alat shalat kubereskan dan aku kembali berbaring di kasur tanpa dipanku. Memejamkan mata, menghibur diri, dan mengucapkan. Happy Birthday to Me… Happy Birthday to Me…. Bisik hatiku perih. Tiba-tiba aku terisak. Entah mengapa. Aku sedih di hari ulang tahunku. Kini aku sudah menikah. Terbayang bahwa diriku pantas mendapatkan lebih dari ini. Aku berhak punya suami yang mapan, yang bisa mengantarku ke mana-mana dengan kendaraan. Bisa membelikan blackforest, bisa membelikan aku gamis saat aku hamil begini, bisa mengajakku menginap di sebuah resort di malam dan hari ulang tahunku. Bukannya aku yang harus sering keluar uang untuk segala kebutuhan sehari-hari, karena memang penghasilanku lebih besar. Sampai kapan aku mesti bersabar, sementara itu bukanlah kewajibanku.
“De…. Ade kenapa?” tanya suamiku dengan nada bingung dan khawatir.
Aku menggeleng dengan mata terpejam. Lalu membuka mata. Matanya tepat menancap di mataku. Di tangannya tergenggam sebuah bungkusan warna merah jambu. Ada tatapan rasa bersalah dan malu di matanya. Sementara bungkusan itu enggan disodorkannya kepadaku.
“Selamat ulang tahun ya De’…” bisiknya lirih. “Sebenernya aku mau bangunin kamu semalam, dan ngasih kado ini… tapi kamu capek banget ya? Ucapnya takut-takut.
Aku mencoba tersenyum. Dia menyodorkan bungkusan manis merah jambu itu. Dari mana dia belajar membungkus kado seperti ini? Batinku sedikit terhibur. Aku buka perlahan bungkusnya sambil menatap lekat matanya. Ada air yang menggenang.
“Maaf ya de, aku cuma bisa ngasih ini. Nnnng… Nggak bagus ya de?” ucapnya terbata. Matanya dihujamkan ke lantai.
Kubuka secarik kartu kecil putih manis dengan bunga pink dan ungu warna favoritku. Sebuah tas selempang abu-abu bergambar Mickey mengajakku tersenyum. Segala kesahku akan sedikitnya nafkah yang diberikannya menguap entah ke mana. Tiba-tiba aku malu, betapa tak bersyukurnya aku.
“Jelek ya de’? Maaf ya de’… aku nggak bisa ngasih apa-apa…. Aku belum bisa nafkahin kamu sepenuhnya. Maafin aku ya de’…” desahnya.
Aku tahu dia harus rela mengirit jatah makan siangnya untuk tas ini. Kupeluk dia dan tangisku meledak di pelukannya. Aku rasakan tetesan air matanya juga membasahi pundakku. Kuhadapkan wajahnya di hadapanku. Masih dalam tunduk, air matanya mengalir. Rabbi… mengapa sepicik itu pikiranku? Yang menilai sesuatu dari materi? Sementara besarnya karuniamu masih aku pertanyakan.
“A’ lihat aku…,” pintaku padanya.
Ia menatapku lekat. Aku melihat telaga bening di matanya. Sejuk dan menenteramkan. Aku tahu ia begitu menyayangi aku, tapi keterbatasan dirinya menyeret dayanya untuk membahagiakan aku. Tercekat aku menatap pancaran kasih dan ketulusan itu.
“Tahu nggak… kamu ngasih aku banyaaaak banget,” bisikku di antara isakan. “Kamu ngasih aku seorang suami yang sayang sama istrinya, yang perhatian. Kamu ngasih aku kesempatan untuk meraih surga-Nya. Kamu ngasih aku dede’,” senyumku sambil mengelus perutku. “Kamu ngasih aku sebuah keluarga yang sayang sama aku, kamu ngasih aku mama….” bisikku dalam cekat.
Terbayang wajah mama mertuaku yang perhatiannya setengah mati padaku, melebihi keluargaku sendiri. “Kamu yang selalu nelfon aku setiap jam istirahat, yang lain mana ada suaminya yang selalu telepon setiap siang,” isakku diselingi tawa. Ia tertawa kemudian tangisnya semakin kencang di pelukanku.
Rabbana… mungkin Engkau belum memberikan kami karunia yang nampak dilihat mata, tapi rasa ini, dan rasa-rasa yang pernah aku alami bersama suamiku tak dapat aku samakan dengan mimpi-mimpiku akan sebuah rumah pribadi, kendaraan pribadi, jabatan suami yang oke, fasilitas-fasilitas. Harta yang hanya terasa dalam hitungan waktu dunia. Mengapa aku masih bertanya. Mengapa keberadaan dia di sisiku masih aku nafikan nilainya. Akan aku nilai apa ketulusannya atas apa saja yang ia berikan untukku? Hanya dengan keluhan? Teringat lagi puisi pemberiannya saat kami baru menikah… Aku ingin mencintaimu dengan sederhana…
***
Oleh: Ust Anismata
Siapa Yang Tahu Maksud Allah
Rasulullah pada suatu waktu pernah berkisah. Pada zaman sebelum kalian, pernah ada seorang raja yang amat dzalim. Hampir setiap orang pernah merasakan ke zalimannya itu.
Pada suatu ketika, raja zalim ini tertimpa penyakit yang sangat berat. Maka seluruh tabib yang ada pada kerajaan itu dikumpulkan. Dibawah ancaman pedang, mereka disuruh untuk menyembuhkannya. Namun sayangnya tidak ada satu tabib pun yang mampu menyembuhkannya. Hingga akhirnya ada seorang Rahib yang mengatakan bahwa penyakit sang raja itu hanya dapat disembuhkan dengan memakan sejenis ikan tertentu, yang sayangnya saat ini bukanlah musimnya ikan itu muncul ke permukaan.
Betapa gembiranya raja mendengar kabar ini. Meskipun raja menyadari bahwa saat ini bukanlah musim ikan itu muncul ke permukaan namun disuruhnya juga semua orang untuk mencari ikan itu. Aneh bin ajaib…. walaupun belum musimnya, temyata ikan itu sangatlah mudah ditemukan. Sehingga akhirnya sembuhlah raja itu dari penyakitnya.
Di lain waktu dan tempat, ada seorang raja yang amat terkenal kebijakannya. Ia sangat dicintai oleh rakyatnya. Pada suatu ketika, raja yang bijaksana itu jatuh sakit. Dan ternyata kesimpulan para tabib sama, yaitu obatnya adalah sejenis ikan tertentu yang saat ini sangat banyak terdapat di permukaan laut. Karena itu mereka sangat optimis rajanya akan segera pulih kembali. Tapi apa yang terjadi ? Ikan yang seharusnya banyak dijumpai di permukaan laut itu, tidak ada satu pun yang nampak..! Walaupun pihak kerajaan telah mengirimkan para ahli selamnya, tetap saja ikan itu tidak berhasil diketemukan. Sehingga akhirnya raja yang bijaksana itu pun mangkat…
Dikisahkan para malaikat pun kebingungan dengan kejadian itu. Akhirnya mereka menghadap Tuhan dan bertanya, “Ya Tuhan kami, apa sebabnya Engkau menggiring ikan-ikan itu ke permukaan sehingga raja yang zalim itu selamat; sementara pada waktu raja yang bijaksana itu sakit, Engkau menyembunyikan ikan-ikan itu ke dasar laut sehingga akhirnya raja yang baik itu meninggal?” Tuhan pun berfirman, “Wahai para malaikat-Ku, sesungguhnya raja yang zalim itu pernah berbuat suatu kebaikan. Karena itu Aku balas kebaikannya itu, sehingga pada waktu dia datang menghadap-Ku, tidak ada lagi kebaikan sedikitpun yang dibawanya. Dan Aku akan tempatkan ia pada neraka yang paling bawah ! Sementara raja yang baik itu pernah berbuat salah kepada-Ku, karena itu Aku hukum dia dengan menyembunyikan ikan-ikan itu, sehingga nanti dia akan datang menghadap-Ku dengan seluruh kebaikannya tanpa ada sedikit pun dosa padanya, karena hukuman atas dosanya telah Kutunaikan seluruhnya di dunia!”
Kita dapat mengambil beberapa pelajaran dari kisah bersayap ini. Pelajaran pertama adalah: Ada kesalahan yang hukumannya langsung ditunaikan Allah di dunia ini juga; sehingga dengan demikian di akhirat nanti dosa itu tidak diperhitungkan-Nya lagi. Keyakinan hal ini dapat menguatkan iman kita bila sedang tertimpa musibah.
Pelajaran kedua adalah: Bila kita tidak pernah tertimpa musibah, jangan terlena. Jangan-jangan Allah ‘menghabiskan’ tabungan kebaikan kita. Keyakinan akan hal ini dapat menjaga kita untuk tidak terbuai dengan lezatnya kenikmatan duniawi sehingga melupakan urusan ukhrowi.
Pelajaran ketiga adalah: Musibah yang menimpa seseorang belum tentu karena orang itu telah berbuat kekeliruan. Keyakinan ini akan dapat mencegah kita untuk tidak berprasangka buruk menyalahkannya, justru yang timbul adalah keinginan untuk membantu meringankan penderitaannya.
Pelajaran keempat adalah: Siapa yang tahu maksud Allah?
***
Dari Sahabat
Jangan Biarkan Dirimu Hancur
Suatu ketika, ada seorang sahabat memulai kotbahnya dengan mengeluarkan selembar uang seratus ribu yang baru. Kemudian dia bertanya “Siapa di antara kamu yang mau uang ini, jika diberikan ikhlas padamu?” Langsung saja yang mengangkat tangan banyak sekali. Katanya lagi ” Ya, ini akan saya berikan, tapi sebelumnya biar saya melakukan hal ini”. Sahabat tersebut meremas uang kertas seratus ribu itu, menjadi gulungan kecil yang kumal.
Kemudian dia buka lagi ke bentuk semula : lembaran seratus ribu, tapi sudah kumal sekali. Lalu dia bertanya ” Siapa yang masih mau uang ini?” Tetap saja banyak yang angkat tangan, sebanyak yang tadi.
“Oke, akan saya kasih, tapi biarkan saya melakukan hal ini”. Dia menjatuhkan lembaran uang itu ke lantai, terus diinjak-injak pakai sepatunya yang habis berjalan di tanah becek sampai nggak karuan bentuknya. Dia tanya lagi” siapa yang masih mau?” Tangan-tangan masih saja terangkat. Masih sebanyak tadi.
“Nah, sahabatku, sebenarnya aku dan kau sudah mengambil satu nilai yang sangat berharga dari peristiwa tadi. Kita semua masih mau uang ini walau bentuknya sudah nggak karuan lagi. Sudah jelek, kotor, kumal… tapi nilainya nggak berkurang: tetap seratus ribu rupiah.
Sama seperti kita. Walau kau tengah jatuh, tertimpa tangga pula… tengah sakit, tengah hancur pula, atau kau gagal, nggak berdaya, terhimpit, dan merasa terhina, kecewa dan terkhianati, atau dalam keadaan apapun, kau tetap nggak kehilangan nilaimu… karena kau begitu berharga. Jangan biarkan kekecewaan, perasaan, ketakutan, sakit hati, menghancurkan kamu, harapanmu, atau cita-citamu.”
“Kamu akan selalu tetap berharga, bagi dirimu, bagi diriku, bagi sahabatmu, bagi sahabat yang lain dan kau tetap sama dimata Tuhanmu. Dia, Tuhanmu, akan berlari mendekatimu, jika kau berjalan menuju-Nya. Aku pun sahabatmu akan melakukan hal yang sama, karena fithrah setiap diri kita akan mulia jika mencoba mendekati sifat2 Tuhan kita. Disanalah nilai dirimu berada.”
***
Sumber : http://www.dudung.net
Pak Rudi dan Sikat Gigi Bekas
Pada pagi itu pak Rudi pergi ke sebuah perusahaan dimana dia dipanggil untuk test wawancara untuk menjadi karyawan di Perusahaan tersebut. Saat dalam antrian panggilan untuk test, pak Rudi menyempatkan diri ke toilet untuk sekedar membersihkan muka dan mencuci tangan, karena beliau menggunakan kendaraan umum sehingga banyak debu jalanan yang ingin beliau hilangkan.
Saat di wastafel, beliau melihat wastafel tersebut kotor dan sedikit disana sini ada kerak kerak porselen, dan disamping wastafel itu ada sikat gigi bekas yang terlihat tak terpakai. Tanpa berfikir panjang, pak Rudi membersihkan wastafel tersebut dengan sikat gigi bekas yang beliau temukan. Dan ternyata tanpa beliau sadari ada orang lain disamping beliau yang melihat perbuatan Pak Rudi tersebut, yang tak lain orang tersebut adalah orang HRD, dan orang itu yang akan mewawancara Pak Rudi.
Ketika Pak Rudi ada di Ruang test, beliau langsung ditanya oleh sang HRD
” Pak, tadi saya lihat pak Rudi membersihkan wastafel dengan sikat gigi bekas, boleh saya tahu, apa tujuan bapak melakukannya, padahal bapak datang kesini bukan untuk wawancara karyawan office boy, atau cleaning service, dan yang pasti…. bapak belum tentu kami terima sebagai karyawan di perusahaan ini…”
” Saya melakukannya karena saya ikhlas melakukannya, dan hal itu terlepas dari masalah apakah saya akan diterima atau tidak diperusahaan ini, dan terlepas dilihat orang atau tidak saya melakukannya. Karena saya yakin Allah melihat apa yang saya kerjakan….”
Apakah anda tahu, siapa yang diterima diperusahaan itu? ya… tentu saja pak Rudi lah orang nya…
Angel Priciple, prinsip malaikat, dimana malaikat adalah mahluk yang terbuat dari cahaya, dimana cahaya itu tidak pernah memilih. Mungkin anda sekarang bisa melihat lampu yang ada dikantor anda, atau dimana saja, atau mungkin matahari yang ada diluar sana. Perhatikan sedikit lampu atau matahari yang ada, dimana menyinari setiap benda, orang dan semua yang ada, tak peduli apakah orang tersebut baik, jahat, kaya atau miskin, tetap dibuatnya terang agar bisa terlihat…
***
Dari Sahabat
Karir Muslimah
Oleh Siti Aisyah Nurmi
Ummati….ummati…..
Rintihan seorang yang mulia yang hatinya amat lembut. Dalam nubuwwah Beliau SAW telah melihat kenyataan ini…..
Seorang wanita duduk murung di sudut ruang tamunya. Lampu dimatikan. Di kamar, sang suami terbaring gelisah. Tidak ada yang tertidur kecuali si kecil yang nafasnya masih tersengal karena sakit. Ayah dan ibu sedang bertengkar gara-gara saling menyalahkan, siapa yang seharusnya pulang dari kantor saat Annisa dikabarkan sakit. Rita sang ibu, manajer sebuah perusahaan asing yang bergengsi. Jabatan cukup tinggi dan prestasi karir cemerlang. Agus, sang ayah hanya bisa menyumbang sepertiga dari kebutuhan finansial rumahtangga, maklum, sebagai eselon tiga di departemen yang ‘kering’, tak banyak yang bisa diharapkan. Agus belum bersedia melepas status PNS-nya dengan berbagai alasan. Namun ia juga sibuk di kantor, karena ia sering diandalkan oleh bossnya yang malas dan punya obyekan banyak. Buah hati mereka (Alhamdulillah) baru satu, Annisa, dua tahun.
Problem keluarga masa kini: pertengkaran suami isteri karena konflik kepentingan antara karir dan rumahtangga.
Wahai wanita, wahai ibu! Apa sih arti ‘karir’? Dari katanya sendiri bisa kita artikan secara bebas bahwa ia berarti sesuatu yang kita lakukan dengan motivasi tinggi sehingga menghasilkan suatu ‘karya’. Begitu ‘kan?
Suatu hari penulis diminta mengisi data diri yang pada salah satu kolomnya terdapat: pekerjaan: pilihannya: a) Pegawai negeri b) swasta c) tidak bekerja. Penulis tanyakan kepada petugasnya: Di mana tempat untuk menuliskan karir saya sebagai ibu rumahtangga? Semua jawaban petugas itu tak dapat memuaskan saya.
Seorang wanita yang mengurus rumahtangganya, siang malam ia bekerja. * Fullday*! Nyaris 24 jam! Apakah itu dikatakan TIDAK BEKERJA? Lebih menyakitkan lagi, ada yang menggolongkan pekerjaan ini sebagai “TIDAK PRODUKTIF”?!?
Apa hasil kerja seorang ibu rumahtangga?
Banyak sekali, namun sayangnya tidak pernah diekspos dan diangkat ke dalam diskusi besar-besaran. Tidak juga ada lembaga besar yang mau mengadakan penelitian seputar hal ini. Sebaliknya, ada ribuan seminar tentang wanita bekerja yang mempromosikan wanita untuk keluar rumah mengejar karir kantoran. Bahkan di negeri ini sedang ada diskusi tentang perlunya meningkatkan keterwakilan wanita di parlemen. *That means*: harus ada lebih banyak lagi wanita yang berkarir politik di negeri yang pernah punya presiden wanita ini.
Apakah wanita tidak boleh bekerja di luar rumah? Wah nanti dulu, di sini bukan porsinya untuk membicarakan fatwa.
Coba kita tinjau dari sudut lain: apa alasan wanita bekerja di luar rumah. Pertama ada alasan finansial, ini yang terbanyak. Kedua, alasan mencari aktualisasi diri, ketiga, alasan jenuh di rumah, dan terakhir: dibutuhkan di masyarakat. Untuk orang-orang tertentu, alasan terakhir sangat kuat. Misalnya karir sebagai guru TK, hampir tak bisa ditemukan guru TK yang pria, dan memang wajar, tidak cocok. Dokter wanita juga termasuk yang sangat dibutuhkan di masyarakat. Alasannya sederhana, wanita seringkali malu jika dokternya pria. Menjadi perawat juga diperlukan. Bahkan di zaman Nabi SAW, para isteri beliau diundi berangkat bersama Nabi SAW ke medan jihad untuk merawat yang sakit.
Dari empat alasan di atas, dua yang pertama adalah yang terbanyak. Apakah seorang wanita benar-benar perlu membantu mencari nafkah? Sangat relatif. Jika suaminya masih bisa memenuhi sandang pangan dan papan dengan standar cukup yang normal, maka kebutuhan tersebut tidak ada lagi. Kita dapat memaklumi mbok-mbok jamu yang terpaksa keluar masuk kampung dengan jamu gendongnya, sebab dalam hitungan kasat mata kita dapat melihat bahwa kebutuhan rumahtangganya pasti tak mencukupi jika ia tak berjualan. Masing-masing kita bisa menilai sendiri apakah standar minimal tersebut sudah terpenuhi atau belum. Namun bagaimana dengan yang beralasan ‘aktualisasi diri’?
Istilahnya saja diambil dari filsuf barat, Maslow. Jauh dari hidayah Islam. Namun lebih jauh lagi, ‘aktualisasi diri’ sekarang diartikan sangat jauh kepada karir dengan format materialisme. Seseorang tidak dikatakan sampai derajat mencapai aktualisasi diri jika belum mendapatkan format kerja yang menghasilkan karya materi. Apakah itu berupa penghasilan tinggi, atau prestasi ilmiah, atau prestasi di bidang apa saja yang bisa masuk ke dalam katagori pengakuan dari masyarakat. Jadi, jika ia hidup di masyarakat yang sudah tidak lagi menghargai karya seorang ibu rumahtangga, maka ia tak akan pernah mencapai aktualisasi diri. Meskipun semua anaknya sholeh dan cerdas, rumahtangganya tak pernah meresahkan orang lain dan sebagainya. Bahkan suaminya amat menghargai sang isteri karena kontribusinya sebagai pasangan hidup terbaik.
Sebaliknya, seorang wanita yang sukses karir dan merasa sudah mendapatkan kepuasan dan aktualisasi diri, mungkin saja mempunyai kisah hidup memilukan, anak-anaknya yang tak bisa menghargai dirinya, ketika sudah jompo iapun terdampar di panti wredha. Konsep Maslow tentang aktualisasi diri itupun masih belum “sempurna”, sebab pengakuan yang dicarinya masih terbatas pengakuan manusia. Siapakah manusia? Makhluk fana yang sering berbohong. Islam menghendaki seseorang mencari pengakuan dari Pihak Yang Tak Pernah Mengingkari Janji, apalagi berbohong. Ridha Allah adalah sukses tertinggi yang bisa dicapai makhluk di hadapan Khalik. Imbalannya-pun bukan milyaran dollar, tidak. Itu terlalu kecil, sebab Syurga diwariskan kepada para hamba sholeh luasnya seluas langit dan bumi, masih ditambah kelak dipuji puji oleh para malaikat mulia yang berbakti.
Suatu saat Nabi SAW ditanya oleh seseorang: siapakah orang pertama yang harus aku muliakan, ya Rasulullah? Jawab beliau: Ibumu (1x) ibumu (ke 2 x) dan ibumu (ke 3 x), kemudian baru ayahmu.
Alangkah indahnya Islam, alangkah mulianya kedudukan wanita dalam Islam.
***
Dari Sahabat
Putri Yang Sombong
Tersebutlah seorang putri raja dari cina yang sangat cerdas. Dia menjadi sombong dengan kecerdasannya itu. Ketika usia telah cukup untuk menikah sang raja bermaksud untuk mengadakan sayembara, sang putri tidak keberatan namun dia mengajukan syarat bagi mereka yang ingin menikahinya.. Setiap laki laki yang ingin mempersuntingnya harus mampu menjawab 3 pertanyaan yang dia ajukan. Bagi yang tidak mampu menjawab maka tiang gantungan telah menanti sebagai hukuman.
Demikianlah, puluhan pemuda mengakhiri hidup mereka ditiang gantungan tersebut karena tak mampu menjawab pertanyaan sang putri. Raja menjadi sangat khawatir dengan kondisi putrinya yang semakin menikmati permainannya, juga khawatir dengan usianya yang semakin bertambah namun tidak ada tanda tanda bahwa dia akan mengakhiri permainan gilanya itu serta khawatir semua pemuda terbaiknya mati sia-sia ditiang gantungan.
Suatu hari datanglah seorang pemuda pengembara dari tanah Bharata, dia mendengar cerita tentang sang putri dan berniat untuk mengakhiri permainannya. Dia mendaftar untuk bertanding dengan sang putri. Mendengar hal ini sang raja jadi gelisah karena pasti pemuda pengembara ini hidupnya akan berakhir pula ditiang gantungan. Dia menasehati sang pemuda agar mengurungkan niatnya untuk mengikuti pertandingan namun ditampik oleh sang pemuda yang telah bulat tekadnya untuk menghentikan kecongkakan sang putri.
Tibalah hari yang telah ditentukan, sang pemuda dan para penonton telah hadir dipendopo istana bersiap untuk mengikuti acara yang sangat menegangkan itu, namun sang pemuda tidak kelihatan tegang bahkan sebaliknya, dia duduk tegak bersila dengan tenangnya sambil terus menebar senyum. Sang raja dan para juri yang terdiri dari para pendeta dan penasehat istana telah duduk di masing masing tempat yang tersedia dengan harap-harap cemas. Tak berapa lama berselang datanglah sang putri berjalan ketengah-tengah pendopo dengan keangkuhan tersirat yang disebabkan oleh kecerdasannya. Duduk dengan kaki terlipat diatas kursi dan senyum sinis menghiasi wajah yang seharusnya sangat cantik itu dia melirik kearah sang pemuda.
Sayembara segera dimulai. Tampak sang putri berbisik ditelinga penterjemah yang segera berkata, Wahai pemuda yang berani datang menantang sang putri, apakah engkau tidak takut digantung? Apakah engkau tidak sayang akan nyawamu berakhir sia-sia ditiang gantungan? Apakah engkau tidak sayang akan ketampananmu serta masa depanmu? Pulanglah sebelum terlambat. Demikian kata penterjemah menyampaikan apa yang dibisikkan oleh sang putri, tampak sangat jelas dia memandang rendah sang pemuda. Walau kelihatan seperti menyayangkan keikut sertaan sang pemuda namun dari kata-katanya jelas tersirat bahwa sang putri sangat senang akan ada lagi korban yang jatuh dan dia tidak ingin sang pemuda mundur dari pendopo.
Sang pemuda hanya tersenyum sambil mempersilakan sang putri untuk menyampaikan pertanyaannya karena dia sudah tidak sabar lagi untuk menjawab.
Sang penterjemah membacakan pertanyaan pertama sang putri yang berbunyi, Siapakah bapak yang mampu memperlakukan semua secara adil?
Pemuda itu dengan suara tenang menjawab, Dia adalah Matahari.
Para juri terperangah karena untuk pertama kalinya ada orang yang mampu menjawab dengan tepat dengan santainya. Biasanya para pemuda terdahulu kalah pada pertanyaan pertama.
Pertanyaan kedua, Siapakah ibu yang memakan anaknya setelah sang anak dilahirkannya?
Kembali sang pemuda dengan tenangnya mengawab, Dia adalah laut.
Kini giliran sang putri yang keluar keringat dingin karena dua pertanyaannya dijawab dengan mudahnya. Dia berpikir sejenak sebelum mengajukan pertanyaannya yang ketiga. Setelah berpikir keras dia tersenyum karena merasa mendapatkan satu pertanyaan yang mustahil dijawab oleh siapapun, bahkan oleh para pendeta terpelajar sekalipun.
Pertanyaan ketiga adalah, Pohon apakah yang setiap daunnya memiliki dua warna, hitam dan putih?
Melihat sang putri tersenyum bahagia karena merasa yakin pertanyaannya tidak bakalan bisa dijawab, sang pemuda sengaja berlagak seperti orang yang sedang berpikir keras mencari jawaban, membiarkan sang putri menikmati angannya yang akan berakhir sebentar lagi. Hal ini ternyata membuat para hadirin dan juga sang raja menjadi sangat cemas, padahal tadi telah muncul harapan bahwa sang pemuda akan memenangkan sayembara ini. Setiap jawaban disambut tengan tepuk tangan yang sangat meriah. Namun berbeda dengan sekarang, suasana jadi sangat hening mencekam, setiap hati melantunkan doa kemenangan buat sang pemuda sehingga tidak akan ada lagi korban berjatuhan. Namun sang pemuda tidak segera menjawab, bahkan dia kelihatan berpikir semakin keras. Sengaja dia lakukan untuk memberikan kesempatan kepada sang putri menikmati angan kemenangannya lebih lama..
Sang putri yang merasa pasti menang menebar senyum bangga kearah hadirin namun ketika dia berpaling kearah sang pemuda senyum itu berubah menjadi sinis. Dia sangat senang atas hal ini dan berkata, Wahai anak muda, sampai kapan engkau akan membisu seperti itu, akuilah bahwa engkau tidak menemukan jawabannya, orang-orang hebat seperti para pendeta yang telah renta karena ilmupun tidak tahu jawabannya apalagi anak kemarin sore sepertimu, oleh karena itu menyerahlah dan bersiaplah untuk menuju tiang gantungan, algojo telah tidak sabar menanti untuk memasang tali dilehermu, kasihan mereka terlalu lama menunggu sesuatu untuk dikerjakan, pekerjaan mereka hanya datang sesekali.
Dengan tatapan tenang kearah sang putri sembari tersenyum, sang pemuda berkata, Tuan Putri, jawaban hamba atas pertanyaan Tuan Putri yang ke tiga adalah “Tahun”.
Gemuruh sorak sorai para hadirin karena akhirnya pertanyaan terakhir sang Putri terjawab juga walau mereka belum yakin jawaban itu benar, namun paling tidak mereka telah melihat guratan senyum disudut bibir para juri pertanda jawaban tersebut benar adanya.
Sementara dilain pihak, wajah sang Putri tiba tiba menjadi merah padam, marah dan kecewa setelah mendengar jawaban gamblang dari sang pemuda. Dia tidak habis pikir bagaimana si pemuda bisa tahu jawaban itu, sementara dia kelihatan berpikir keras dari tadi tapi ternyata dia dengan tenangnya dapat menjawab, sang Putri jadi curiga mungkin jawabannya itu hanya tebakan. Kemudian dia bertanya, Kenapa jawabanmu Tahun, jelaskan!
Bagai sebatang pohon yang terus bertumbuh, tahun juga terus berjalan tanpa dapat dihentikan, daunnya adalah siang yang putih dan malam yang hitam. Demikian jawaban sang pemuda pengembara. Sekali lagi hadirin bersorak riang gembira. Namun berbeda dengan sang Putri yang takabur itu, dia berteriak tidak terima kalah dan tidak mau menikah sembari ingin mengajukan pertanyaan lagi akan tetapi permohonannya ditolak sang Raja yang mengatakan bahwa jika Putri tidak mau mengaku kalah dan tidak mau menikah dengan sang pemuda maka dia harus mendapat hukuman yang sama seperti para pemuda yang kalah sebelumnya, hukuman gantung.
Akhirnya sang Putri mengaku kalah walau dengan terpaksa dan kemudian dipersunting oleh si pemuda dan diboyong kenegaranya yaitu Bharatawarsa.
Makna dari dunia itu sendiri adalah kehidupan karna tanpa hidup kita ga akan pernah tau dunia itu seperti apa,,,,tidak selamanya apa yang kita anggap benar itu ..tidak salah juga di mata kehidupan dalam bingkai dunia..
***
Dari Sahabat di Kaskus.us
Subscribe to:
Posts (Atom)